Trowulan- Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, amat terkenal dengan industri cor kuningannya. Beragam produk logam yang tebuag dari logam kuningan itu sangat diminati konsumen hingga mancanegara.
Di desa ini, terdapat puluhan pengrajin dengan hasil produksi berupa patung Buddha, replika candi, serta berbagai cinderamata yang terbuat dari logam kuningan. Salah satunya Supiyo (38).
Namun, di balik keindahannya itu, terdapat proses produksi yang panjang dan rumit.
Proses pembuatan produksi diawali dengan mencetak patung. Yaitu dengan menuangkan lilin yang sudah dicairkan dengan campuran khusus ke dalam master cetakan sesuai model patung yang akan dibuat. Setelah dicelupkan ke dalam air, jadilah cetakan yang cukup keras dengan ketebalan sekitar 1 mm.
Rongga dalam cetakan berbahan lilin itu lantas diisi dengan campuran tanah, pasir dan semen. Masing-masing cetakan ditancapi beberapa paku kecil agar lebih kuat. Lalu Cetakan dibungkus dengan adonan tanah dan pasir setelah dicelupkan ke dalam campuran kalsium putih dan tanah liat.
“Setelah dibungkus dengan tanah, cetakan dijemur sampai kering, lalu dibakar di dalam tungku selama 10 jam,” kata Supiyo.
Setelah itu, cetakan-cetakan yang sudah selesai dibakar menggunakan kayu bakar diatas tungku. Tumpukan cetakan yang dibakar lantas ditutup dengan dedaunan agar panas tungku lebih maksimal. Proses pembakaran ini memakan waktu 10 jam.
“Pembakaran selama 10 jam untuk menghilangkan lilinnya, kan di dalamnya tadi ada cetakan berbahan lilin,” jelas Supiyo.
Sambil menunggu pembakaran, karyawan Supiyo melebur kuningan dengan tungku berbahan bakar elpiji. Proses ini memakan waktu 3 jam. Suhu panas harus sekitar 800 derajat celcius agar bahan baku rongsokan kuningan dapat meleleh.
Selanjutnya, cairan kuningan segera dituangkan ke lubang masing-masing cetakan sebelum dingin. Sebab jika cetakan dingin, cairan kuningan tidak akan mengisi setiap rongga di dalamnya. Patung yang pun dihasilkan tidak berbentuk sempurna.
“Setelah dicor, harus menunggu dingin dulu. Biasanya kalau ngecor sore, saya biarkan sampai besok pagi,” jelasnya.
Setelah benar-benar dingin, patung kuningan dikeluarkan dari tanah yang membungkusnya. Dengan cetakan lilin setebal 1 mm, patung yang dihasilkan mempunyai ketebalan sekitar 1,5 mm. Tentu saja di dalamnya terdapat rongga berisi tanah, pasir dan semen yang sudah mengeras dan diperkuat dengan paku-paku kecil.
“Ketebalan kuningan pada patung minimal 1,5 mm untuk patung setinggi 30 cm, paling tebal 1,5 cm untuk patung besar,” ujar Supiyo.
Memasuki proses finishing patung kuningan juga membutuhkan waktu yang lumayan lama. Setelah dikeluarkan dari balutan tanah, setiap patung dihaluskan dengan mesin gerinda. Patung-patung yang dibuat terpisah, seperti putri duyung, diserahkan ke bagian pengelasan untuk disambung bagian ekor, tubuh dan kepalanya.
“Pengelasan juga untuk menutup permukaan patung jika ada yang berlubang. Selanjutnya ditoner untuk menghilangkan kerak-kerak hitam pada lekukan permukaan patung, lalu dihaluskan lagi,” terangnya.
Tahap akhir adalah pewarnaan. Supiyo memiliki 30 macam warna. Masing-masing warna membutuhkan teknik pewarnaan yang berbeda-beda.
“Warna patung kami layani sesuai keinginan pemesan, makanya saya punya 30 warna, teknik pewarnaannya beda-beda,” cetusnya.
Sejak tahun 1967 Desa Bejijong menjadi sentra industri kerajinan cor kuningan. Total pengrajinan mencapai 200 orang kala itu. Puncak keemasan terjadi pada tahun 1998 sampai 2000. Seiring berjalannya waktu, pengerajin berkurang.
Menurut Kepala Desa Bejijong, Pradana Tera Mardiatna mengatakan, saat ini tinggal 40 yang masih eksis dan bertahan. Selama ini, para pengerajin memasarkan hanya dilakukan secara offline, dengan mengandalkan jaringan artshop di Bali, Jakarta, Solo dan Yogyakarta, serta dari mulut ke mulut.
Ia berharap, kedepan para pengrajin cor kuningan dapat merambah pasar online.
“Ke depan kami kumpulkan melalui BUMDes Wijaya. Rencananya kami buatkan marketplace sendiri untuk kami bantu pemasaran secara online,” pungkasnya.