Mojokerto – KH Mochammad Nawawi dikenal sebagai salah satu ulama dan pejuang kemerdekaan RI. Ia juga syahid di medan perang dalam pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Selain itu KH Mochammad Nawawi juga dikenal ulet pada bidang pendidikan, ia menjadi aktivis di masa kolonial Belanda hingga Jepang. Ia mengajarkan mengenai cinta RI dan anti kolonialisme kepada murid-muridnya.
Sosok Kiai Nawawi ternuata juga memiliki andil dalam pendirian NU, PETA dan Djawa Hokokai di Mojokerto. Bahkan, ia mampu membawa NU terus mengembangkan sayapnya meski diawasi ketat tentara penjajah.
Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan, sejak berdiri 1926, NU di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari membuka cabang di berbagai daerah memanfaatkan jaringan pesantren dan kaum santri lulusan pesantren, termasuk di Mojokerto.
Kala itu, Kiai Nawawi mendiskusikan rencana pendirian NU di Mojokerto dengan para kiai. Salah satunya yang paling intensif dengan Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab warga Suronatan Magersari Kota Mojokerto. Rupanya Kiai Zainal mempunyai minat yang sama.
NU Mojokerto akhirnya lahir dalam sebuah rapat para kiai pada 28 Mei 1929. Seperti yang dimuat dalam Buletin Swara Nahdlatoel Oelama edisi nomor 7 tahun kedua, rapat tersebut dihadiri KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri. Kiai Wahab kala itu menjadi Pemred Swara Nahdlatoel Oelama, sedangkan Kiai Bisri Katib Syuriyah NU Cabang Jombang.
“Kiai Wahab dan Kiai Bisri menjelaskan tentang pentingnya ikatan di antara umat Islam untuk menjaga syiar li i’laa kalimatillah dalam menghadapi tantangan gerusan puritanisasi beragama (Wahabi) maupun kristenisasi oleh penjajah. Yaitu bergabung dan membentuk NU cabang Mojokerto,” terang Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi yang dikutip Kabarmojokerto.id.
Dalam rapat itu pula, lanjut Ayuhanafiq pengurus NU Mojokerto disusun. Kiai Zainal didapuk sebagai Rais Syuriah. Ketua Tanfidziyah dijabat Kiai Muhammad Rozihan. Sedangkan Kiai Nawawi sebagai pembantu (A’wan) Rais Syuriah.
Kemudian KH Mochammad Nawawi lantas menggantikan kedudukan Kiai Zainal yang wafat tahun 1941. Pembinaan terhadap ranting-ranting NU rutin dilakukan Kiai Nawawi.
Ulama yang lahir di Lespadangan Desa Terusan Gedeg Kabupaten Mojokerto 1886 ini, paling sering berkunjung ke ranting. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu mengendarai dokar pinjaman Kiai Zainal yang dijadikan kendaraan dinas para pengurus NU Mojokerto.
KH Mochammad Nawawi juga dikenal mengajarkan tertib administrasi ke para pengurus ranting, seperti buku kas, buku anggota dan buku notulen rapat.
Keberadaan NU Mojokerto terendus pemerintah kolonial Belanda sekitar 2 tahun kemudian. Beruntung para pengurusnya piawai berkamuflase sehingga organisasi kebanggaan warga Nahdliyin ini terus berkembang tanpa dikekang penjajah.
Terbukti dalam catatan serah terima jabatan (Memorie van Overgave) yang ditulis Resident Mojokerto, CA Schnitzle tahun 1931, tidak ditemukan unsur fanatisme Islam dalam NU Mojokerto.
Salah satu strategi yang digunakan adalah setiap rapat organisasi digelar di masjid dan musala. Praktis intelijen polisi kolonial tidak optimal melakukan pengawasan sebab risih dan tak terbiasa berada di tempat ibadah umat Islam. Selain itu, mudah mengidentifikasi orang tak dikenal yang sengaja menyusup. NU Mojokerto pun terus berkembang pesat kala itu.
“Sosok sentral dalam NU Mojokerto adalah Kiai Nawawi yang memiliki dedikasi kuat membesarkan oraganisasi. Dia didamping anak-anak muda yang mempunyai loyalitas mengurus organisasi. Dari tangan dingin Kiai Nawawi, NU Mojokerto dirintis hingga eksistensinya terjaga hingga saat ini,” terangnya.
Menjelang 1942, jelas Ayuhanafiq pemerintah kolonial Belanda dibuat resah kabar kedatangan pasukan Jepang. Gubernur Jatim kala itu, CH Van der Plass berupaya merebut simpati rakyat Indonesia memanfaatkan primordial keagamaan.
Ia mencetak kitab suci Al-Qur’an dalam jumlah besar untuk dibagikan ke pesantren, masjid dan musala. Tujuannya hanya satu, agar pribumi muslim mau menyokong persiapan menghadapi gempuran Jepang.
Bantuan Al-Qur’an juga disalurkan ke Langgar Jagalan, musala milik KH Nawawi tempatnya mengajar mengaji di Jalan Gajah Mada nomor 118 Kelurahan Jagalan Kranggan Kota Mojokerto.
Namun KH Mochammad Nawawi mempunyai pendirian yang teguh. Ia membakar kitab-kitab tersebut. Tidak hanya itu, ia juga memberikan instruksi ke masjid dan musala lainnya di Mojokerto untuk melakukan hal yang sama.
“Sekitar satu truk kitab suci yang dibagikan Van der Plas untuk wilayah Mojokerto habis terbakar. Di Jombang juga sama, dibakar oleh Kyai Dahlan Kholil,” ungkapnya.
Kebijakan militer Jepang yang berhasil menguasai Mojokerto 6 Maret 1942 ternyata lebih keras. Mereka membubarkan semua organisasi dengan mengeluarkan Undang-undang nomor 2 tahun 2602 tanggal 8 Maret 1942.
Militer dari Negeri Matahari Terbit juga mewajibkan rakyat melakukan seikirei, yakni membungkuk ke matahari setiap pagi sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang yang diyakini keturunan Dewa Matahari. Tentu saja umat Islam dibuat gaduh sebab ritual itu tergolong musrik.
Barulah setelah memegang kendali penuh di tanah air, militer Jepang menelurkan UU baru nomor 23 pada 15 Juni 1942. Isinya mencabut sebagian larangan berkumpul.
Perkumpulan dan pertemuan yang diizinkan bersifat pelesiran dan kesenangan, gerak badan, pengetahuan, kesenian, pendidikan, derma dan pertolongan, serta distribusi barang. Kala itu Mojokerto dipimpin Bupati atau Kencho sekaligus Shico atau Wali Kota RAA Rekso Amiprodjo.
Menurut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi pun mengatur strategi untuk menyiasati kekejaman intelijen polisi Jepang. Ia memanfaatkan kesenian hadrah, diba’, manakiban, yasinan dan ritus lainya yang berkembang di warga nahdliyin Mojokerto.
KH Mochammad Nawawi mengajukan permohonan ke militer Jepang untuk menggelar pertemuan seni dan budaya. Kegiatan tersebut pun diizinkan.
“Kiai Nawawi lantas mengubah NU Mojokerto untuk sementara sebagai lembaga seni budaya untuk menyiasati aturan yang berlaku, yakni bernama Lembaga Budaya Ahlussunah wal Jamaah. Sehingga Nawawi leluasa melakukan silaturrahmi,” terangnya.
Strategi ini terbukti jitu. Kiai Nawawi selalu menyampaikan pesan agar umat muslim tetap teguh melawan penjajah dan menegakkan kebenaran. Hal-hal yang bersifat politik tak jarang dibahas dalam pertemuan seni budaya.
Ia menyampaikan pesan-pesannya menggunakan Bahasa Arab yang tak dipahami militer Jepang. Tak pelak KH Nawawi dan pengurus NU lainnya tetap mampu menjangkau semua wilayah Mojokerto.
“Sehingga informasi organisasi atau perkembangan sosial masyarakat dapat diketahui oleh semua kompoenen NU di masing-masing tingkatan. Dengan demikian kesamaan gerak dapat terwujud,” ujarnya.
Ketika banyak kalah di Perang Pasifik, militer Jepang sedikit melunak. Sebab mereka membutuhkan dukungan rakyat Indonesia untuk memenangkan perang itu. Larangan berkumpul dan berbicara pun dicabut. Mereka membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) dengan mengeluarkan Osamu Seirei nomor 44 pada 3 oktober 1943. Personilnya direkrut dari Jawa, Madura dan Bali.
Di Mojokerto sendiri, Panitia Persiapan Propaganda Tentara PETA dibentuk akhir Oktober 1943 dalam rapat di Gedung Baitoel Mal, Jalan Jagalan nomor 15. Panitia ini diketuai pegawai pemerintah Mas Ngabehi Rediono. Sedangkan Kiai Nawawi menjadi anggotanya.
Para pemuda dari berbagai penjuru Bumi Majapahit mendaftarkan diri. Sedikitnya 127 pemuda bergabung dengan PETA. Event penggalangan dana untuk menyokong PETA Mojokerto pun digelar pertengahan November 1943.
“Kiai Nawawi menjadi salah satu pembicara di event tersebut. Dalam pidatonya, ia menyinggung kewajiban membela tanah air dalam kaca mata agama Islam. Karena opsir PETA yang dinyatakan lulus pendidikan, terdapat banyak santri. Mereka mendapatkan kedudukan sebagai komandan pasukan di daerah-daerah,” terang Ayuhanafiq.
PETA lantas dibubarkan pada 18 Agustus 1945 pasca Jepang menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945. Tidak hanya itu, Kiai Nawawi juga terlibat aktif di Himpunan Kebaktian Rakyat atau Djawa Hokokai yang dibentuk menggantikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA).
Djawa Hokokai dibentuk militer Jepang pada 1 Maret 1944. Di Mojokerto, organisasi ini dipimpin Bupati Rekso Amiprodjo dan wakilnya, dr Soedomo seorang dokter gigi. Menurut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi menjadi anggota mewakili para ulama.
“Dengan bergabung dalam Djawa Hokokai, interaksi Kiai Nawawi semakin luas. Strukturnya berjenjang hingga tingkat desa yang dipimpin lurah. Sehinnga Kiai Nawawi tidak hanya bekerja dengan kalangan santri, dia berhubungan dengan kalangan priyayi yang kebanyakan menjadi aparat pemerintahan,” tegasnya.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menyebut KH Nawawi bersama pengurus NU Mojokerto rutin menggelar pengajian keliling ke musala-musala.
Melalui NU pula, ulama pemberani itu mengusulkan pendirian madrasah untuk mengentaskan umat dari kebodohan. Sehingga sekolah Islam pertama becokol di Bumi Majapahit. Kiai Nawawi juga menjadi pendidik di madrasah tersebut.
Madrasah di Kauman 3, Kelurahan Kauman, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto itu tetap eksis sampai sekarang. Namanya berubah dari Madrasah Kauman menjadi MI Al Muhsinun sejak 1976. “Karena menempati pekarangan milik Haji Muhsinun yang dihibahkan kepada Yayasan Pendidikan Ma’arif Mojokerto,” tandasnya.