BerandaSejarahDakwah dan Kesaktian KH Musthofa 'Kiai Tiban' Mojokerto, Serdadu Belanda Ketakutan

Dakwah dan Kesaktian KH Musthofa ‘Kiai Tiban’ Mojokerto, Serdadu Belanda Ketakutan

Mojokerto – KH Moh Musthofa atau sosok yang mendapatkan dijuluki ‘Kiai Tiban’ ini memiliki jasa besar dalam penyebaran Islam di Mojokerto. Ulama ini konon mendapatkan ilmu agama secara tiba-tiba kepada dirinya.

Tidak hanya ilmu agama saja, KH Musthofa juga mempunyai banyak kesaktian. Kesaktian yang dimiliki KH Musthofa merupakan kesaktian ilmu hitam dan putih, karena masa mudanya yang tergila-gila pada ilmu kanuragan.

Sebelum akhirnya mendapatkan hidayah dan nyantri di beberapa pesantren, hingga akhirnya ia menjadi pendakwah ajaran Islam di bumi Majapahit.

Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto, Isno Woeng Sayun menerangkan KH Musthofa atau Mustamin merupakan putra dari Kepala Desa Canggu Singokerto. Ia merupakan orang yang tergolong dari kalangan terhormat mengingat jabatan orang tuanya.

Dalam perjalanan hidupnya, Mustamin yang sebelumnya tergila-gila dengan ilmu kanuragan kemudian berubah haluan menjadi santri.

Mustamin menimba ilmu agama di beberapa pesantren, pertama di Pesantren Sidoresmo Surabaya, pesantren di Pati Jateng, serta di Pesantren Jrebeng Krian Sidoarjo. Dari tiga pesantren itu, ia mendapatkan ilmu laduni sehingga menjadi ‘Kiai Tiban’. Ilmu laduni merupakan ilmu yang diperoleh secara tiba-tiba.

Ilmu laduni didapatkan oleh Mustamin karena ia hanya sebentar menjadi santri. Namun, ia benar-benar menaati semua perintah gurunya.

Sepulang dari menimba ilmu, Mustamin meminta ayahnya membangun masjid di Dusun Kedungsumur Desa Canggu. Masjid yang kini bernama Al Musthofa itu menjadi tempat Mustamin berdakwah dengan mengajar mengaji para santri.

“Di tengah kesibukannya mengajar ngaji para santrinya, ia merasa belum sempurna perjalanannya sebelum berangkat haji. Usai menjalankan ibadah haji itulah namanya berubah menjadi KH Moh Musthofa,” terangnya.

Kiai Musthofa mengajarkan ilmu Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah di masjid tersebut. Tidak hanya dari Desa Canggu dan sekitarnya, santrinya datang dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang. Tak sedikit pencuri dan orang sakti yang menjadi santrinya setelah ia taklukkan.

Saking banyaknya pengikut Kiai Musthofa, lanjut Isno, masjid Al Musthofa menjelma bak pasar setiap pengajian rutin Kamisan. Bahkan, sejumlah ulama besar Mojokerto pernah berguru kepadanya. Seperti KH Achyat Chalimi dan Kiai Bajuri Mojosari. Kiai Bajuri belajar kanuragan dari Kiai Musthofa untuk berjuang melawan Belanda.

“Bisa jadi para pejuang kemerdekaan menjadikan Kiai Musthofa sebagai jujukan. Karena pada usia itu, beliau tergolong kiai yang disepuhkan juga terkenal akan kesaktiannya,” jelasnya.

KH Musthofa sejatinya dikaruniai seorang putra buah pernikahannya dengan Marfuah, warga Dusun Kedungsumur. Namun, ia menerima petunjuk kalau kelak anaknya sangat nakal dan tidak mempunyai jalan bertobat. Sehingga ia mengumpulkan para santri untuk berdoa kepada Allah SWT memohon yang terbaik bagi putranya.

“Dari peristiwa itu, pada akhirnya anak KH Musthofa memang benar-benar meninggal dunia,” ungkapnya.

Hingga wafat pada tanggal 27 September 1955, KH Musthofa tidak mempunyai keturunan.

Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Al Musthofa. Haulnya masih rutin diperingati oleh anak-anak dan cucu dari para santrinya. Sayangnya, Kiai Musthofa wafat tanpa menunjuk penerus tarikatnya sehingga sempat vakum.

“Namun, di kemudian hari ada salah satu santrinya bermimpi dan diberi tongkat sebagai penanda estafet kepemimpinan berikutnya. Namanya Mustofa asal Sawahan Bangsal,” cetusnya.

Pemerhati Sejarah Hidup KH Musthofa, Muhammad Arif Billah menuturkan KH Musthofa lahir di Dusun Kedung Klinter dengan nama Mustamin sekitar tahun 1883. Ayahnya menjabat Kepala Desa Canggu bernama Singokerto.

Sedangkan istrinya bernama Marfuah, warga Dusun Kedungsumur. Sayangnya, putranya meninggal ketika baru berusia 2 tahun.

Kiai Musthofa mulai berdakwah setelah mondok di beberapa pesantren yang hanya sebentar. Menurutnya, julukan Kiai Tiban disemarkan karena tiba-tiba saja menguasai ilmu agama. Dan rentan waktu belajar agamanya yang tergolong pendek, terlebih lagi tidak sepenuhnya ketika di pesantren ia selalu belajar ilmu agama.

Putra Lurah Singokerto itu mengawali dakwah dengan mendirikan pamulangan di sebelah selatan sungai Desa Canggu.

Pamulangan itu berupa bangunan panggung berbahan kayu yang membelakangi sungai. Pada kondisi sekarang, posisinya di sebelah utara Masjid Al Musthofa. Sayangnya, bangunan tersebut tak tersisa sedikit pun. Kala itu, santrinya sekitar 60-70 orang saja.

“Setelah banyak santri, inisiatif membuat masjid, ada yang mengatakan tahun 1935. Bentuknya seperti Masjid Demak, atapnya bersusun, ada tangga untuk azan. Bangunannya sekarang sudah tidak ada,” jelasnya.

Kiai Musthofa mengajarkan Tarikan Qadariyah Naqsabandiyah. Kitab-kitab yang dia ajarkan kepada para santri antara lain Sufi Syahadat, Kitab Majnullah, serta Kitab Bidayatul Hidayah. Dakwah Kiai Musthofa membuat mayoritas masyarakat Desa Canggu taat beribadah. Santrinya juga datang dari berbagai daerah.

“Saat itu, Canggu banyak orang abangan, belum banyak mengenal agama, belum mengenal baca Al-Qur’an, hanya beberapa orang yang taat beribadah. Masih banyak perjudian, miras. Kiai Musthofa mempunyai kelebihan sehingga ditokohkan,” ungkapnya.

Kesaktian Kiai Musthofa membuatnya ditakuti penjajah Belanda. Menurut Arif, pernah suatu ketika tentara kolonial merampas kitab-kitab dari kediaman KH Musthofa. Semua kitab itu diboyong ke markas Belanda di Kota Mojokerto. Namun, penjajah mengembalikan kitab-kitab itu lantaran mendung gelap tiba-tiba datang. Mereka pun takut dengan kesaktian sang kiai.

“Kiai Musthofa hanya duduk murobek. Mendung gelap datang, pimpinan Belanda ketakutan dengan ilmunya Kiai Musthofa,” terangnya.

Ketika barisan Hizbullah berjuang mengusir Belanda di Surabaya tahun 1945, kata Arif, KH Musthofa juga mengirim 25 santrinya untuk mengangkat senjata. Pengiriman 25 santri itu atas permintaan KH Achyat Chalimi. Kiai Musthofa pun membekali para santri dengan amalan-amalan sebelum berperang di Krian Sidoarjo.

“Mereka perang di Krian, Sidoarjo, 25 santri itu melawan tank tak ada yang terbunuh,” ujarnya.

Ilmu tarikat KH Musthofa mengajarkan para santri menyembah nama Allah SWT beserta makna dan hakikatnya. Bahkan, ilmu tarikat itu konon juga membuat para santri bisa memprediksi kematian. Dengan ilmu itu, menurut Arif, para pengikut Kiai Musthofa bisa merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian.

“Saya menyaksikan sendiri yang terjadi pada mbah-mbah saya, terakhir ibu saya,” ungkapnya.

KH Musthofa wafat pada 27 September 1955. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Al Musthofa. Menurut Arif, rumah Kiai Musthofa dulunya persis di sebelah selatan masjid tersebut. Namun, kini sudah dibongkar habis.

“Ketika waktu asar, beliau meminta para santrinya menunggu di luar. Sedangkan beliau masuk ke dalam rumah. Kemudian beliau meninggal,” tandasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kabar Popular