Mojokerto – Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo yang hingga kini masih berdiri kokoh dan bermanfaat untuk pengairan 1.515 hektare lahan pertanian.
Ternyata digunakan oleh Kerajaan Majapahit untuk mengatasi banjir, pemanfaatan Dam Candi Limo di masa Kerajaan Majapahit bukan sebatas untuk lahan pertanian.
Pada perkembangannya, kemudian Dam Candi Limo direvitalisasi oleh Belanda tahun 1910 kemudian digunakan untuk mengairi perkebunan tebu yang dikelola pabrik gula (PG) Dinoyo.
Dam Candi Limo di masa Kerajaan Majapahit juga dikenal sebagai Bendungan Baureno, yang mana penamaan ini diambil dari letak perbatasan perbatasan Desa Baureno dengan Desa Dinoyo.
“Keberadaan Dam Tjandi Lima ternyata sudah ada sejak zaman Majapahìt. Pada masa itu, bendungan tersebut dinamakan Bendungan Baureno karena terletak di perbatasan Desa Baureno dengan Desa Dinoyo,” kata Penulis Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq kepada Karmo, Kamis (23/2/2023) lalu.
Fakta sejarah yang terungkap dari perbatasan Desa Baureno dengan Desa Dinoyo yaitu digunakan sebagai pengendalian banjir di Kota Raja.
Ayuhanafiq menjelaskan selain untuk irigasi, peruntukan Dam Candi Limo juga untuk pengendalian banjir di Kota Raja yang terletak di Trowulan Kabupaten Mojokerto.
“Mereka membangun bendungan, waduk hingga jaringan kanal. Antara lain Dam atau Waduk Baureno, Waduk Kumitir, Waduk Penewon dan Waduk Kraton. Sungai Landean dan Pikatan di Kecamatan Jatirejo menjadi salah satu sumber air untuk Kota Raja Majapahit,” jelasnya.
Pembangunan tata air dilakukan masa pemerintahan Majapahit karena arus sungai Sungai Landean dan Pikatan deras, debit air kedua sungai tersebut dikendalikan dengan dam, bendungan dan sejenisnya.
Selain pengandalian banjir, pembangunan Dam atau Waduk juga untuk menjaga ketersediaan air, dengan demikian tidak pernah terjadi kekeringan di ibu kota Majapahit meski kemarau. Karena Sungai Pikatan dan Landean tidak pernah kering sepanjang tahun.
Ayuhanafiq meyakini Bendungan Baureno terbuat dari bata merah pada zaman Majapahit. Bendungan ini menjadi objek vital sehingga ditetapkan sebagai sima atau tanah bebas pajak oleh sang raja. Sehingga masyarakat memeliharanya dengan baik.
Namun, ketika Majapahit runtuh, Bendungan Baureno menjadi terbengkalai. Tidak ada lagi masyarakat yang merawatnya. Konstruksinya yang hanya bata merah, lambat laun rusak tergerus derasnya Sungai Landean.
“Masyarakat di sekitar dam mungkin masih menyimpan artefak-artefak batu bata dari dam. Termasuk adanya kepala raksasa atau kita sebut Batara Kala masih ada yang bisa ditemukan di sekitar situ. Salah satunya masih diletakkan di sekitar Pasar Dinoyo,” jelasnya.
Di masa kolinialisme Belanda kemudian Dam Candi Limo dipugar dan kembali dimanfaatkan untuk industri gula.
Pemerintah kolonial memerintahkan NV Eschauzier Concern, perusahaan asal Den Haag Belanda merevitalisasi pintu air kuno itu tahun 1910.
Perusahaan milik Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier inilah yang mengoperasikan Suiker Fabriek (PG) Dinoyo di Kecamatan Jatirejo kala itu.
Usai pembangunan selesai dilakukan, Belanda mempertahankan kearifan lokal dengan memasang arca Dewa Kala pada dinding baratnya. Menurut Ayuhanafiq, Dewa Kala dipercaya sebagai penjaga keselamatan.
“Jelas itu sebagai penghormatan bagi mereka yang dianggap suci yang dimuliakan oleh masyarakat sekitar. Pembangunan dam itu pastinya masyarakat dilibatkan, mereka juga akan diajak bicara. Mungkin salah satu usulan masyarakat pembuatan kepala Kala itu sebagai lanjutan tradisi yang lama,” cetusnya.
Arkeolog Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim Vidi Susanto nama Candi Limo tersurat di Naskah Negarakertagama pupuh XVII dan pupuh pupuh LXXVI. Naskah kuno ini ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang berkuasa di Majapahit 1350-1389 masehi.
Pupuh XVII berbunyi “Tiap bulan sehabis musim hujan beliau (Hayam Wuruk) biasa pesiar keliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan Candi Lima”.
Sedangkan pupuh LXXVI “Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Harimandana, Uttamasuka, Prasada-haji, Sadang. Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika”.
Vidi menduga terdapat bangunan suci berupa candi di wilayah Candi Limo pada masa Majapahit. Candi Limo lantas diadopsi Belanda untuk menamai pintu air yang berdiri kokoh sampai sekarang.
“Harusnya ada candi sebab di pupuh bawahnya ada kata sima tanpa candi dan disebutkan macam-macamnya. Kala yang ditempel di Dam Candi Limo itu sudah menjadi pertanda adanya bekas candi, di makam dekat situ infonya juga ada bekas permukiman era Majapahit,” tandasnya.