BerandaSejarahKisah Perjuangan Kiai Moenasir dan Batalyon Condromowo yang Hampir Musnah Usir Penjajah...

Kisah Perjuangan Kiai Moenasir dan Batalyon Condromowo yang Hampir Musnah Usir Penjajah di Agresi Militer Belanda 1949

Mojokerto – Sosok Kiai Moenasir menjadi salah satu tokoh lokal yang begitu berarti bagi Mojokerto dan sekitarnya. Ia dikenal gigih memperjuangan kemerdekaan RI, meskipun kala itu dia berada di zona nyaman karena statusnya yang merupakan keluarga kaya raya.

Kiai Moenasir melalui banyak pertempuran, tapi ada salah satu pertempuran dahsyat yang menjadi salah satu momen hidup dan mati. Perang yang terjadi di Kabupaten Mojokerto membuat pasukannya Batalyon Condromowo dan dirinya sendiri hampir musnah karena bombardir serangan serdadu kolonial Belanda.

Momentum itu pula yang menjadi salah satu kisah menarik yang harus diteladai, bagaimana Kiai Moenasir yang kalah telak dalam pertempuran dapat terus menjaga motivasinya untuk membangun kembali pasukan. Hingga berhasil kembali ke medan perang dengan daya juang yang tetap utuh.

Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menyebut pada agresi Belanda Mojokerto dikenal sebagai garis depan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari kolonial Belanda. Meskipun jarang diketahui masyarakat luas, namun catatan sejarah menunjukkan kurang lebih 1.000 pasukan gugur.

Perang Kiai Moenasir dan Belanda dimulai dari pertempuran di Pacet, Kabupaten Mojokerto pada Januari-Februari 1949 yang membuat gugur sepertiga pasukan Komando Hayam Wuruk.

Komando ini ditugaskan menyerang pasukan Belanda di Surabaya dari arah selatan atau Sidoarjo. Pasukannya gabungan dari Batalyon Mansyur, Batalyon Bambang Yuwono dan Batalyon Tjipto.

Kiai Moenasir ternyata miliki kesaktian ilmu Condromowo.

“Pada awal pertempuran, Komando Hayam Wuruk berhasil menguasai daerah Pacet, Mojosari, Ngoro dan Trawas. Mereka menjadikannya sebagai basis teritorial untuk masuk ke Surabaya,” kata Ayuhanafiq kepada Kabarmojokerto.id.

Namun, dalam perkembangan perang pasukan Komando Hayam Wuruk kesulitan masuk ke Surabaya. Karena jembatan Tanjangrono di Ngoro, Mojokerto dan jembatan Porong di Sidoarjo dijaga ketat seradu penjajah.

Sementara itu, untuk menyeberang Sungai Porong secara langsung tidak mungkin dilakukan karena musim hujan membuat airnya sangat besar. Ini menjadi salah satu hambatan besar para pejuang kala itu.

Ayuhanafiq menjelaskan kekuatan Komando Hayam Wuruk bertambah dengan datangnya Batalyon 39 Moenasir yang dipimpin Mayor Moenasir Ali. Personil batalyon ini hanya tersisa setengahnya setelah gagal merebut wilayah Brangkal Sooko Mojokerto dari penguasaan Belanda. Kompi Macan Putih yang dipimpin Kapten Soemadi juga bergabung.

“Pertengahan Februari 1949, konsolidasi musuh sudah selesai. Kekuatan pasukan Belanda disiapkan secara matang berikut senjata beratnya. Pertempuran besar kembali terjadi di Dlanggu (Kabupaten Mojokerto) membuat para pejuang terjepit,” jelasnya.

Pasukan Belanda, lanjut Ayuhanafiq menggunakan strategi licik untuk melawan para pejuang yang mana menggunakan penduduk pribumi sebagai perisai hidup.

Mereka lantas memborbardir tentara republik dengan senapan, tank tempur dan meriam. Perang dahsyat itu berlangsung dari pagi sampai malam. Ini menjadi momentum yang sangat mencekam, bagi pejuang dan masyarakat setempat.

Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah, menunjukkan foto Komandan Batalyon Condromowo.

Kegelapan malam menguntungkan pasukan Komando Hayam Wuruk. Namun, hanya sebagian pasukan yang berhasil lolos dari kepungan serdadu Belanda di Dlanggu. Karena sebagian besar pejuang gugur di medan laga kala itu, diantaranya Komandan Kompi Batalyon Mansyur Solikhi, Kapten Mat Yatim dan Kepala Staf Batalyon tersebut, Madjid Asmara. Batalyon ini kehilangan hampir separuh personilnya.

Batalyon 39 Moenasir sendiri hampir musnah. Sehingga Kapten Achyat Chalimy atau Abah Yat memberikan julukan Batalyon Hilang kepada pasukan yang dipimpin Mayor Moenasir itu. Hanya sebagian kecil personilnya yang kembali ketika konsolidasi di Tebuireng Desa Cukir Diwek Jombang.

“Karena kehilangan anggota itulah Kiai Achyat Chalimi menyebutnya Batalyon Ilang,” ungkapnya.

Peristiwa Mayor Moenasir meloloskan diri dari kepungan pasukan penjajah di Dlanggu, kata Ayuhanafiq terjadi 12 Februari 1949. Ini yang menjadikan pasukan Kiai Moenasir hampir musnah seluruhnya.

Ulama yang lahir di Desa Modopuro, Mojosari, Mojokerto 2 Maret 1919 ini merekrut para santri Ponpes Tebuireng dan pesantren di sekitarnya. Sehingga jumlah pasukannya kembali menjadi sebuah batalyon.

Sosok Kiai Muhammad Moenasir Ali bersama Presiden RI kelima Megawati Soekarno Putri.

Konsolidasi kembali digelar Mayor Moenasir di Peterongan, Jombang pada 8 April 1949. Pada pertemuan itu, ia mengusulkan nama Batalyon 39 Moenasir diganti dengan Condromowo. Usulannya kala itu disepakati para komandan kompi yang menjadi anak buahnya. Sehingga sejak itu, pasukan yang ia pimpin menjadi Batalyon 519 Condromowo.

“Batalyon Condromowo kemudian diberi nomor registrasi baru yaitu 519 dengan wilayah penugasan di Jombang dan sekitarnya,” tandasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kabar Popular