Mojokerto – Kiai Muhammad Moenasir Ali pasca pensiun dari TNI dengan pangkat mayor yang menjabat sebagai Komandan Batalyon (Danyon) Condromowo, memilih ke dunia politik nasional.
Perjalanan Kiai Moenasir di peta politik nasional awal kemerdekaan RI cukup menarik, karena membuahkan hasil yang patut dikenang hingga sekarang. Ia sempat menduduki kursi DPR hingga beberapa kali pemilihan.
Selain itu, dedikasinya untuk NU juga tidak perlu diragukan lagi, karena ia juga memiliki jabatan penting di organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Perjuangan Kiai Moenasir di panggung politik nasional juga menjadi sebuah paparan data dalam sebuah kajian penelitian ilmiah. Salah satunya dari jurnal ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember karya Farid Hidayat dengan judul Dari Militer ke Panggung Politik: Biografi KH Muhammad Munasir Ali Tahun 1958-1998.
Kiai Moenasir mengajukan pensiun dari TNI ketika masih muda dan dibilang saat usia emas 34 tahun pada 1953. Bahkan kala itu ia menjagat sebagai Danyon Condromowo yang bermarkas di Gunungsari Surabaya.
Permohonan pensiun dininya sempat ditolak Letjend Sudirman, pimpinan Moenasir di Jatim. Lantas pada tahun 1955, ia menjadi juru kampanye Partai NU. Baru tahun 1958 ia resmi pensiun dari militer.
Pada tanggal 14 Agustus 1958 kemudian ia dilantik menjadi anggota Dewan Nasional, yaitu badan penasihat pemerintah. Statusnya dalam kumpulan tersebut adalah anggota. Dewan Nasional sendiri dibentuk karena usulan Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Kiai Moenasir menjadi anggota Dewan Nasional merupakan perkawilan dari mewakili golongan bekas pejuang bersenjata dan angkatan darat. Sehingga kalangan yang berada di Dewan Nasional berasal dari berbagai latar belakang dalam memperjuangan RI.
“Selama menjadi anggota Dewan Nasional, Moenasir Ali dan anggota Dewan Nasional lainnya banyak memberikan sumbangsih pemikiran berupa nasihat-nasihat kepada pemerintah. Antara lain perihal pembentukan Dewan Perancang Pembangunan Nasional. Nasihat-nasihat tersebut disampaikan melalui sidang-sidang Dewan Nasional bersama Perdana Menteri dan Presiden,” tulis Farid dalam jurnal tersebut dikutip Kabarmojokerto.id.

Usai tugas Dewan Nasional berakhir, Kiai Moenasir lantas diusulkan Kabinet Karya di menjadi anggota Dewan Perancang Pembangunan Nasional pada Juli 1959. Sekarang lembaga negara ini menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dewan Perancang Pembangunan Nasional ketika itu bertugas menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional sekaligus menilai pelaksanaannya, serta menyusun rencana pembangunan nasional.
“Moenasir Ali aktif dalam rapat-rapat pleno yang membahas acara tunggal, yaitu membentuk dasar asasi pembangunan yang berpedoman pada amanah presiden,” tulis Farid.
Perjalanan karir politik Kiai Moenasir kian moncer, usai didapuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) tambahan tahun 1967. Ia menjadi anggota Komisi 2 yang membidani Hankam dan Luar Negeri.
Kala itu rezim Orde Baru membersihkan anggota legislatif golongan kiri pasca pemberontakan G30S PKI. Sehingga banyak kursi dewan yang kosong. Moenasir pun duduk di kursi parlemen mewakili Persatuan Petani NU (Pertanu). Sebab ketika itu ia menjadi pengurus besar organisasi di bawah naungan NU tersebut.
“Selama menjadi anggota DPR GR, Moenasir Ali dan anggota dewan lainnya mempunyai tugas untuk merampungkan UU Pemilu. UU tersebut rampung dengan keluarnya UU nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu yang kemudian menjadi landasan Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971,” terang Farid.
Kiai Moenasir kembali memiliki kursi di Pemilu 1971 pun bergulir. Partai NU meraih posisi kedua dengan 25 kursi di DPR RI setelah Partai Golkar. Ia menjadi anggota Komisi 4 bidang Departemen Pertanian, Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi.
Mantan Danyon Condromowo ini lantas menjadi Wakil Ketua Komisi 4 DPR RI tahun 1972. Setahun kemudian Presiden Soeharto menelurkan kebijakan penggabungan partai politik (fusi) berdasarkan kesamaan program. Sehingga kendaraan politik di Indonesia kala itu hanya 3, yaitu PPP, PDI dan Golkar. Partai NU dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Kebijakan fusi partai mendapat perlawanan dari anggota parlemen yang tidak sepakat, termasuk Moenasir Ali. Namun, penolakan demi penolakan yang dilakukan tidak berdampak hingga fusi partai tersebut tetap diterapkan,” ungkap Farid.
Kiai Moenasir bersama rekan-rekan seperjuangannya di Fraksi Persatuan Pembangunan menentang RUU Perkawinan yang diajukan rezim Orde Baru tahun 1974. Karena beberapa pasal di RUU tersebut dinilai tidak sesuai dengan akidah Islam.
Ketidaksepahaman Kiai Moenasir bersama rekan-rekan kemudian menuntut pasal-pasal itu diperbaiki. Setelah melalui lobi-lobi panjang, RUU Perkawinan akhirnya diperbaiki sesuai kesepakatan anggota DPR.
Selama manjadi anggota DPR RI periode 1971-1977, Moenasir juga memperjuangkan masalah kesenjangan pembangunan desa dengan kota. Ini menjadi salah satu bentuk perjuangan Kiai Moenasir sebagai wakil rakyat.
Poin pentingnya yang mana Kiai Moenasir menginginkan pemerataan pembangunan di desa dan kota. Gagasan tersebut ia sampaikan ketika menjadi panitia khusus Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 2 mewakili Fraksi Persatuan Pembangunan.

“Hasil Pemilu 1977, Moenasir Ali kembali terpilih menjadi anggota DPR dari PPP wilayah Jatim. Pada periode ini ia masuk dalam Komisi 2 bidang Departemen Dalam Negeri, Penyempurnaan Aparatur Negara, Sekretariat Negara, Kantor Urusan Agama, dan Arsip Nasional,” jelas Farid.
Kiai Moenasir dan Fraksi Persatuan Pembangunan, lanjut Farid kembali menunjukkan ketegasan sikap politik dalam sidang MPR tahun 1978. Mereka menolak usulan pemerintah terkait aliran kepercayaan, serta pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4).
Sebab pengesahan aliran kepercayaan akan memberikan legitimasi kuat terhadap kelompok santri dan abangan yang dianggap bagian dari aliran kepercayaan. Sehingga ditakutkan akan menimbulkan perpecahan dalam Islam. Sementara P4 dikhawatirkan akan menjadi tafsir yang akan mengaburkan kemurnian Pancasila.
“Penolakan tersebut kemudian berbuntut pada aksi walk out yang dilakukan anggota Fraksi Persatuan Pembangunan termasuk, Moenasir Ali,” ujarnya.
Kiai Moenasir kembali terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 1982 bersama PPP. Kali ini ia menjabat Ketua Komisi 8 bidang Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Menteri Negara Urusan Wanita, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Ia juga menjadi Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan.
Di luar pemerintahan, Kiai Moenasir menjadi pengurus besar Pertanu sampai 1973. Ia menjadi salah satu tokoh yang mebentuk Pertanu menjadi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tahun 1973. Ketika itu ia menjabat Ketua 1.
Selama menjadi pengurus Pertanu, Moenasir Ali aktif dalam menanggapi masalah pertanian, salah satunya landreform. Pertanu sejak awal mendukung kebijakan landreform untuk menyejahterakan petani dengan cara pengaturan ulang perjanjian bagi hasil dan redistribusi tanah pertanian.
Pengabdian Kiai Moenasir di NU juga layak menjadi catatan sejarah. Moenasir dipercaya menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU berdasarkan hasil Muktamar tahun 1979 di Semarang. Ketika itu usianya sudah 60 tahun.
Ketika menjabat Sekjen ia mulai melakukan perbaikan dalam administrasi NU, mulai dalam surat menyurat, standarisasi gaji pegawai PBNU, hingga mengamankan arsip dan dokumen NU di Badan Arsip Nasional.
Ketika NU kembali ke khittahnya berdasarkan hasil Muktamar di Situbondo tahun 1984, Kiai Moenasir menjadi anggota Mustasyar atau penasihat syuriah NU. Kala itu ia juga sepakat NU kembali ke khittah, yakni sebagai organisasi sosial keagamaan dan meninggalkan politik praktis.
Terlebih lagi NU bukan lagi partai politik sejak melebur dengan PPP tahun 1973. Sedangkan hasil Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989 menempatkan Moenasir sebagai anggota Rais Syuriah PBNU. Selanjutnya ia menjadi Ketua Panitia Muktamar di Cipasung, Tasikmalaya, Jabar tahun 1994.
“Moenasir Ali menjadi ketua panitia muktamar tertua sepanjang sejarah muktamar NU. Kala itu ia mampu melakukan sindiran dengan nada humornya kepada Presiden Soeharto yang sudah lama menjadi Presiden RI. Berdasarkan hasil muktamar tersebut, ia diamanahi menjadi Mustasyar PBNU,” ungkapnya.
Ketika era reformasi tiba tahun 1998, Kiai Moenasir menjadi salah satu deklarator PKB. Karena kiprahnya di politik selama 20 tahun dan puluhan tahun di NU. Selain itu, ia juga sebagai Mustasyar NU yang sangat dihormati oleh warga nahdliyin. Setelahnya, ia menikmati masa senjanya di rumahnya yang terletak di Desa Pekukuhan Mojosari Kabupaten Mojokerto. Rumah di sebelah barat lampu merah Pekukuhan tersebut kini diberi nama Baitul Moenasir.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menjelaskan setelah pensiun dari Militer, Kiai Moenasir hidup di Jakarta. Bapak 14 anak itu bergabung dengan Ikatan Bekas Pedjoeang Indonesia (Ikabepi). Ia juga mendirikan Legiun Veteran bersama Chairul Saleh, Letjen (Purn) Sarbini dan Letjen A Kartakusuma.
Selain menjadi anggota legislatif dan mengurus PBNU, menurut Isno, Kiai Moenasir juga menjabat Wakil Ketua Pengurus Besar Pertanu tahun 1958-1979. Mulai tahun 1982, ia memutuskan pulang kampung ke Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Setahun kemudian ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Dahlan As Syafi’i bersama beberapa tokoh setempat.
“Meskipun beliau fokus mengembangkan lembaga pendidikannya, tanggung jawab menjadi anggota DPR dan pengurus PBNU terus dilanjutkan. Walaupun harus bolak-balik Mojokerto-Jakarta,” jelasnya.
Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini menyebut Kiai Moenasir sebagai satu dari lima kiai founding father PKB pasca reformasi tahun 1998. Sebab setelah Presiden Soeharto lengser, kebutuhan mendirikan partai politik sangatlah mendesak untuk menyalurkan aspirasi warga nahdliyin.
“Dengan PKB itulah yang mengantarkan Gus Dur (Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid) menuju kursi istana,” cetus Isno.
Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah mengaku kerap mengikuti pamannya itu ketika rapat di PBNU. Sehingga ia banyak mengetahui pandangan tokoh-tokoh NU terhadap Moenasir. Ia menyebut Moenasir sebagai kiainya kiai.
“Ada sengketa apapun di PBNU, konflik apapun kalau tidak bisa selesai di forum itu, Kiai Moenasir didatangkan untuk menyelesaikan. Setelah saya amati, ternyata beliau bersih, tidak pernah ambil uang yang bukan miliknya, tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain. Sehingga kalau beliau ngomong A, semua manut dan tidak pernah ada yang dirugikan,” tandasnya.