BerandaSejarahPerjuangan KH Nawawi di Era Kolonialisme bagi Pendidikan Kota Mojokerto

Perjuangan KH Nawawi di Era Kolonialisme bagi Pendidikan Kota Mojokerto

Mojokerto – KH Mochammad Nawawi dikenal sebagai tokoh, pejuang, dan ulama dari Mojokerto. Ternyata, di sela-sela itu, Kiai Nawawi juga memberikan sumbangsih yang besar bagi bidang pendidikan, karena menanamkan nilai anti penjajah dan kolonialisme.

KH Mochammad Nawawi akan dikenang sebagai syuhada, gugur tatkala bertempur melawan kolonial Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Nawawi lahir dari pasangan Munadi dan Khalimah di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto tahun 1886. Ia mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren sejak berusia 7 tahun. Setidaknya 21 tahun ia habiskan untuk menimba ilmu.

KH Nawawi setelah mengenyam pendidikan di beberapa pesantren menikah dengan Nafisah, putri Kiai Syafi’i ketika usianya sudah 28 tahun sekitar 1914.

Kiai Syafi’i merupakan sahabat ayahnya warga Balongsari I, Kelurahan Balongsari, Magerasi, Kota Mojokerto. Usai menikah, Kiai Nawawi kemudian berprofesi sebagai tukang jahit busana. Kualitas kerja dan kejujurannya membuat bisnis jasa jahit yang ia buka di Jalan Majapahit Kota Mojokerto cepat berkembang.

Sehingga ia mampu membuat rumah dan musala sendiri. Salah seorang cucunya, Ahmad Wahid (63) mengatakan dulu rumah Kiai Nawawi di Jagalan 2 Kelurahan Jagalan Kranggan terbuat dari kayu.

Sedangkan musalanya di sebelah utara rumahnya, yakni di Jalan Gajah Mada nomor 118 Kota Mojokerto. Di musala inilah Kiai Nawawi mengamalkan ilmunya kepada para murid yang belajar di tempatnya.

“Beliau (Kiai Nawawi) dulu mengajar mengaji di musala itu,” kata Wahid di rumahnya, Kelurahan Wates Magersari Kota Mojokerto, Kamis (8/12/2022).

Musala tempat Kiai Nawawi mengamalkan ilmunya, kini menjadi bagian dari Masjid As Syuhada’ di Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur’an An Nawawy. Pesantren ini didirikan putranya, KH Ismail Nawawi sekitar tahun 1968, jauh setelah ia wafat tahun 1946.

Sedangkan kediamannya sudah berpindah tangan ke orang lain. “Rumahnya sudah dijual kepada almarhum Pak Sukarno, dulu rumah itu dijual abah saya,” jelasnya.

Semasa hidupnya, Kiai Nawawi mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat Jagalan dan sekitarnya. Ia juga berdakwah tentang ajaran Islam. Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menjelaskan kala itu, kakeknya harus kucing-kucingan dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengajarkan ilmu agama.

“Zaman sebelum kemerdekaan, namanya pesantren luar biasa ketatnya. Dulu orang mengajar ngaji sudah dibidik atau diawasi penjajah, orang mengaji sembunyi-sembunyi,” terangnya.

Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menguraikan KH Nawawi mengajari anak-anak Jagalan dan sekitarnya membaca Al-Qur’an di musala pribadinya. Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto ini tak jarang menyelipkan syair-syair Jawa yang sarat ajaran moral, etika dan budi pekerti dalam pengajiannya.

“Kiai Nawawi juga sering mengundang para Kiai yang merupakan teman mondoknya dulu untuk mengisi pengajian-pengajian di tengah masyarakat, seperti KH Khusaeri dan KH Naser dari Damean, Gresik,” jelasnya Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto.

Ketika menjadi pengurus NU Mojokerto, Kiai Nawawi mengusulkan pendirian madrasah untuk mengentaskan umat dari kebodohan. Sehingga berdirilah sebuah sekolah Islam di Kauman 3 Kelurahan Kauman Prajurit Kulon Kota Mojokerto.

Menurut Isno, KH Nawawi juga ikut mengajar di Madrasah Kauman ini. Sekolah di belakang Masjid Agung Al Fattah ini diubah namanya menjadi MI Al Muhsinun tahun 1976. Sebab madrasah ini berdiri di tanah Haji Muhsinun yang diwakafkan kepada Yayasan Pendidikan Ma’arif Mojokerto.

“Di dalam dirinya terpendam semangat perjuangan anti penjajah. Cara Nawawi menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa kepada murid-murid cukup kreatif. Teks lagu Indonesia Raya dia terjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Selanjutnya murid-murid diajari untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam Bahasa Arab,” ujarnya.

Sedangkan Ayuhanafiq dalam bukunya Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menuturkan sepak terjang Kiai Nawawi di dunia pendidikan dimulai sejak menikah dengan istri pertamanya, Nafisah.

Sebelum mendirikan musala sendiri, ketika itu Kiai Nawawi masih tinggal serumah dengan mertuanya. Sehingga ia membantu mengajar mengaji di musala milik mertuanya. Musala di Balongsari I nomor 15 ini tetap eksis dengan nama Langgar Wakaf KH Syafi’i.

“Para santri itu tidak hanya diberi pelajaran membaca Al Qur’an, tapi juga pelajaran kitab terkait tata cara beribadah dan juga pelajaran akhlak atau moral. Sebutan kiai mulai sering dilekatkan pada namanya. Santri kian banyak dari luar lingkungan, tapi tak punya asrama. Sehingga Nawawi membeli tanah di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Jagalan untuk rumah dan musala,” terangnya.

Usai membangun musala sendiri, pengajian Kiai Nawawi pun berpindah ke musala pribadinya bernama Langgar Jagalan. Ia kian fokus mengamalkan ilmunya. Sampai-sampai ia harus merekrut 2 pegawai untuk mengelola bisnis jasa jahit busana.

Muridnya pun kian banyak hingga membuat musalanya penuh. Selain menimba ilmu agama, mereka juga ingin mendapatkan ilmu kanuragan dari Kiai Nawawi.

Oleh sebab itu, KH Nawawi ingin mendirikan madrasah atau sekolah Islam. Keinginannya tersebut ia diskusikan dengan temannya, Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab. Gayung pun bersambut, sebab Kiai Zainal mempunyai cita-cita yang sama. Rencana mendirikan madrasah lantas mereka bahas dengan kiai lainnya karena membutuhkan banyak biaya dan tenaga pendidik.

“Beberapa kiai berkumpul untuk membahas kondisi pendidikan bagi anak-anak orang Islam. Mereka sadar bahwa bila dibiarkan maka anak-anak muslim akan tergusur zaman. Pemerintah kolonial secara sistematis berusaha mengkooptasi rakyat lewat pendidikan yang diskriminatif. Pertemuan itu yang mengawali pendirian madrasah pertama di Mojokerto di tahun 1926,” cetus Ayuhanafiq.

Sebelum mempunyai gedung sendiri, lanjut Ayuhanafiq madrasah menempati musala Kiai Zainal di Suronatan Magersari Kota Mojokerto. Ilmu agama diajarkan para kiai lulusan pesantren. Para santri juga membantu mengajar ilmu pengetahuan umum. Kala itu, para siswa belajar dengan lesehan di musala dan teras rumah Kiai Zainal tanpa meja maupun kursi.

“Para kiai Mojokerto terbukti mampu mengelaborasi pentingnya pendidikan formal bagi generasi penerus Islam agar tidak tertinggal zaman,” jelasnya.

Minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah kian tinggi. Musala maupun teras rumah Kiai Zainal tak mampu menampung murid yang berdatangan dari berbagai penjuru Kota Mojokerto.

Gedung sekolah pun dibangun bergotong-royong di tanah wakaf Haji Muhsin, yakni di Kamuan 3. Tidak hanya itu, Haji Muhsin juga menanggung sebagian besar biaya pendirian gedung madrasah.

KH Nawawi dipercaya menjadi kepala sekolah pertama Madrasah Kauman tersebut. Sekolah Islam ini berganti nama menjadi MI Al Muhsinun untuk mengenang jasa Haji Muhsin.

Menurut Ayuhanafiq madrasah menjadi wadah untuk menebar benih anti-kolonialisme kepada anak-anak. Misalnya mengajari para siswa menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Kiai Nawawi mengubah lirik lagu ini dalam Bahasa Arab untuk mengelabuhi penjajah.

“Agar kegiatan di sekolah tak dibubarkan penjajah. Lagu itu kemudian diberi judul Indonesiya Adhim. Dengan cara itu penanaman benih nasionalisme kepada murid madrasah tetap dapat dilakukan. Aparat penjajah tidak bisa melarang karena mereka tidak paham Bahasa Arab,” ungkapnya.

Menjelang 1929, resesi melanda tanah air. Tingginya pengangguran akibat kemerosotan ekonomi membuat banyak anak putus sekolah. Begitu pula siswa-siswa Madrasah Kauman. Para kiai pun memutuskan untuk menurunkan biaya sekolah dengan risiko honor para pendidik berkurang.

Pembayaran biaya sekolah juga dilonggarkan. Untuk menutupi operasional madrasah, penggalangan dana dari para orang kaya dilakukan. Sehingga madrasah tidak sampai gulung tikar.

“Tahun 1925 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan pengawasan sekolah tidak berijin atau sekolah liar. Dalam aturan Wild Schoolen ini, sekolah yang mau mengajukan izin, diberi subsidi. Namun, Madrasah Kauman memilih mandiri,” tandas Ayuhanafiq.

Hingga kini MI Al Muhsinun tetap eksis dan banyak peminatnya. Madrasah di Kauman 3 nomor 27 ini mempunyai 398 siswa yang dibagi menjadi 13 rombongan belajar (rombel). Kelas 1, 2, 3, 5 dan 6 masing-masing mempunyai 2 rombel. Hanya kelas 4 yang mencapai 3 rombel. Sedangkan jumlah pendidiknya mencapai 26 orang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kabar Popular