Mojokerto – Sosok Kiai Muhammad Moenasir Ali menjadi salah satu pejuang kemerdekaan NKRI. Ia diketahui berasal dari keluarga kaya raya, bahkan sebelum pensiun ia merupakan Komandan Batalyon (Danyon) Condromowo.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Kiai Moenasir lantas tidak membuatnya jumawa, ia lebih suka meninggalkan kemewahan.
Sejak kecil Kiai Moenasir menimba ilmu di sejumlah pesantren, lalu mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menjelaskan Moenasir lahir di Desa Modopuro Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto 2 Maret 1919 dari pasangan Haji Ali dan Hasanah.
Sosok Kiai Moenasir bisa dibilang merupakan orang terpandang, dengan latar belakang Ayahnya yang menjabat sebagai kepala desa atau lurah yang kaya raya di desa tersebut.
Kewibawaan Haji Ali bukan karena kabatannya saja, melainkan karena kekayaannya. Konon, Haji Ali mampu mewariskan sawah dan rumah besar kepada semua anaknya. Termasuk kepada Moenasir. Sehingga rumah-rumah bagus di Desa Modopuro pada zaman itu hanyalah milik Haji Ali dan anak-anaknya.
Namun, Moenasir kecil tak pernah membanggakan kekayaan orang tuanya. Ia justru lebih banyak bermain di Desa Pekukuhan Kecamatan Mojosari, desa di selatan Modopuro.

“Ada yang bilang kalau di Desa Pekukuhan ada seorang gadis cantik yang menjadi idamannya. Adalah Bu Nyai Muslichah, wanita cantik anak KH Achmad Dahlan yang menarik hatinya,” tulis Isno yang dikutip Kabarmojokerto.id, Kamis (30/3/2023).
Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini menjelaskan Moenasir mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar milik pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1933.
Kemudian atas arahahan ayahnya, Moenasir yang kala itu berusia 14 tahun melanjutkan pendidikan ke sejumlah pondok pesantren.
Di usia remajanya, Moenasir menimba dasar-dasar ilmu agama di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islah Trowulan Mojokerto. Tak lama kemudian ia ‘nyantri’ di Ponpes Tebuireng, Desa Cukir Diwek Jombang, yakni pesantren besar yang didirikan KH Hasyim Asy’ari, Kakek KH Abduraahman Wahid atau Gus Dur.
Saat berada di Tebuireng Moenasir mengaji sekaligus sekolah di Madrasah Salafiyah Ponpes Tebuireng. Ketika KH Wahid Hasyim pulang dari Makkah kemudian merombak kurikulum pendidikan di pesantren dan memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan umum mulai diajarkan kepada para santri.
Saat inilah Moenasir mendapatkan asupan ilmu pengetahuan berlimpah. Serta memiliki sanad dengan keilmuan KH Wahid Hasyim.

“Bahkan, karena kecerdasannya, Moenasir direkrut menjadi kader inti yang tergabung dalam Madrasah Nidzomiyah oleh KH Wahid Hasyim. Moenaeir diperkenalkan berbagai pemikiran sosial politik dan keorganisasian NU yang kemudian membentuk pola pikir dan daya juangnya kelak,” terang Isno.
Usai dari Tebuireng Moenasir lantas menimba ilmu di 3 pesantren lainnya. Yaitu di Ponpes Kasingan Rembang Jateng, Ponpes Jemsaren Solo, serta di Ponpes Darussalam Watucongol Muntilan Magelang.
Ada kisah menarik ketika ia berada di Watu Congol. Menurut Isno, suatu malam Moenasir dan teman-temannya memasak nasi liwet (liwetan). Mereka mengambil ikan dari kolam pengasuh pesantren, Mbah Kiai Dalhar Nahrawi. Mbah Dalhar pun marah sehingga Moenasir dipulangkan dari pesantren.
“Selang tujuh hari setelah Monasir tinggal di rumah, ayahnya meninggal dunia. Kejadian dipulangkannya sesungguhnya karena kewalian Mbah Dalhar. Mbah Dalhar mengetahui kalau ayah Munasir Ali akan meninggal dunia. Karenanya Mbah Dalhar menyuruh Moenasir pulang agar ia bisa berbakti kepada ayahnya,” ungkapnya.
Sejak pulang ke kampung halamannya di Desa Modopuro, Moenasir bergabung dengan Persatuan Petani NU dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Mojokerto yang dibentuk tahun 1938.
Kiai Moenasir mulai mengangkat senjata setelah mendapat pelatihan militer dari penjajah Jepang di Cibarusah Bekasi Jabar. Kala itu, ia tergabung dalam Heiho, serdadu cadangan yang dibentuk Jepang untuk melawan tentara sekutu.
Selepas pelatihan militer, Moenasir bergabung dengan Laskar Hizbullah yang dibentuk 14 Oktober 1944. Hizbullah dibentuk atas usulan KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU sekaligus pendiri Ponpes Tebuireng, Jombang KH Hasyim Asy’ari.
Ketika bergabung dengan Hizbullah, usia Moenasir sekitar 25 tahun. Ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Laskar Hizbullah Mojokerto karena kegigihannya dalam berjuang.
Ketika tentara Belanda menyerbu Mojokerto 17 Maret 1947, Moenasir memimpin sebuah batalyon. Ia bersama Batalyon 39 Moenasir terlibat berbagai pertempuran sengit melawan pasukan penjajah.
Ia mengganti nama batalyon tersebut menjadi Batalyon 519 Condromowo pada 8 April 1949. Ketika itu ia membangun ulang kekuatan yang habis akibat gempuran penjajah.
Menurut Isno Moenasir pensiun dini dari dinas militer pada 31 Maret 1953. Pemilik NRP 10512 ini pensiun dengan pangkat mayor. Ia mempunyai 14 anak. Putra sulungnya, Rozy Munir pernah menjabat Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN era Presiden Gus Dur. Selepas dari karir militer, Moenasir malang melintang di dunia politik tanah air. Ia juga menjadi pengurus PBNU.
“KH Moenasir meninggal tepat saat usianya memasuki 83 tahun. Beliau meninggal pada hari Jumat, 11 Januari 2002 pukul 23.15 WIB. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Pekukuhan, Mojosari,” cetusnya.
Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah menuturkan mendiang pamannya itu mempunyai 2 istri. Kedua istrinya merupakan putri Kiai Achmad Dahlan As Syafi’i, pendiri pesantren yang sekarang menjadi lembaga pendidikan Yayasan Dahlan As Syafi’i di Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari.
Istri pertamanya, Muslichah meninggal dunia. Moenasir mempunyai 2 anak dari pernikahannya dengan Hj Muslichah, yakni Rozy Munir dan Faridah. Beberapa tahun kemudian ia menikah dengan adik kandung mendiang istrinya, Hj Waki’ah. Dari pernikahan keduanya ini Kiai Moenasir dikaruniai 12 anak.

“Anak beliau 2 dari istri pertama, 12 dari istri kedua. Semua anaknya sarjana,” jelasnya.
Kiai Moenasir menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah besar warisan mertuanya di Desa Pekukuhan. Rumah di sebelah barat lampu merah Pekukuhan tersebut, kini bersama Baitul Moenasir’.
Ulama sekaligus pejuang ini wafat karena kondisi fisiknya yang sudah tua dan lemah. Ia sempat dirawat di RS Gatoel, Mojokerto dan di RSPAD Jakarta.
“Rumah warisan orang tuanya di Modopuro sekarang dimiliki salah satu cucunya. Sekarang menjadi lembaga pendidikan Yayasan Al Anwar yang dikelola H Imam Mahfuzdi, keponakan Kiai Moenasir,” tandas Habibullah.