Mojokerto – Prasasti Pucangan menjadi salah satu bukti sejarah penting yang akan mengungkap rahasia perjalanan Mataram Kuno. Kini prasasti tersebut tengah berada di Indian Museum di Kolkata India.
Pemerintah berupaya memulangkannnya karena menjadi bagian penting dalam mengungkap fakta empiris pada bidang sejarah di era Mataram Kuno.
Upaya pemulangan prasasti Pucangan sangat berarti bagi bidang sejarah Indonesia, khususnya dalam mengungkap apa yang terjadi di sekitar jaman Mataram Kuno. Khususnya di era pemerintahan Raja Airlangga 1019-1043 masehi.
Prasasti Pucangan sendiri yang terdiri dari dua bahasa yaitu Jawa dan Sansekerta, akan berkontribusi pada lurusnya sejarah Raja Airlangga dan kepemimpinannya di Kerajaan Mataram Kuno.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yori Akbar Setiyawan dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dengan judul “Latar Belakang Penetapan Sima Bagi Pertapaan pada Masa Pemerintahan Airlangga 1019-1043 Masehi”. Prasasti Pucangan Jawa Kuno menyebutkan mengenai sima, sima adalah seuah wilayah khusus yang ditetapkan raja.
Menurut Yori, sima adalah sebidang tanah atau desa yang diberi batas dan dibebaskan dari pajak dan sejumlah kewajiban lainnya oleh raja atau pejabat tinggi. Sima diberikan kepada seseorang, kelompok, atau penduduk desa karena alasan tertentu.
Salah satu yang dijelaskan dalam prasasti adalah penetapan Desa Barahem, Pucangan, dan Sapuri sebagai sima untuk menunjang pembangunan sebuah pertapaan suci. Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta juga menceritakan pembangunan pertapaan suci oleh Airlangga di lereng Gunung Pugawat.
“Dapat disimpulkan bahwa pertapaan pada masa Jawa Kuno banyak dibangun di lereng-lereng pegunungan yang dianggap suci,” jelasnya.
Pada masa pemerintahannya, Airlangga setidaknya membuat 33 prasasti yang semuanya berisi sima. Alasan pemberian sima pada masa itu beragam. Alasan pemberian sima mulai dari hadiah bagi seseorang yang berjasa kepada raja, penduduk desa yang menolong raja saat perang, untuk pemeliharaan infrastruktur kerajaan, serta pemeliharaan tempat ibadah.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Vernika Hapri Witasari dari program studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) berjudul “Prasasti Pucangan Sansekerta 959 Saka: Suatu Kajian Ulang”. Penelitian ini menjelaskan mengenai Prasasti Pucangan Jawa Kuno berisi maklumat Airlangga yang memerintahkan wilayah Pucangan, Barahem, Bapuri tanah milik Warga Pinhai sebagai sima untuk pembangunan pertapaan suci.
Skripsi tersebut mengungkap setidaknya 4 kali kata Pucangan diukir di Prasasti Pucangan Jawa Kuno. Yaitu di baris ke-32 berbunyi ‘patapan in Pucangan’ atau pertapaan di Pucangan, di baris ke-37 ‘patapan i Pucangan’ atau pertapaan di Pucangan, di baris ke-38 ‘patapan ring Pucangan’ atau pertapaan di Pucangan, serta di baris ke-43 ‘san hyan dharmma patapan i Pucangan’ atau pertapaan suci Pucangan.
“Dari beberapa kalimat tersebut, jelaslah di dalam Prasasti Pucangan Sansekerta maupun Jawa Kuna menceritakan mengenai pembuatan pertapaan suci di Pucangan. Karena kedua prasasti mencantumkan nama pertapaan suci tersebut, maka kemungkinan prasasti ini disebut Prasasti Pucangan,” terang Vernika dalam skripsinya.
Sejarah penting selain pembuatan Pertapaan Suci, Prasasti Pucangan Jawa Kuno juga mengungkap peristiwa serangan Raja Wurawari terhadap Kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh.
Penyerbuan itu terjadi ketika Airlangga melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Sehingga Airlangga kabur ke hutan ditemani abdinya yang bernama Narottama dan hidup secara sederhana dengan para petapa.
Isi Prasasti Pucangan yang kini berada di Museum Kolkata, India diukir di sebuah lempengan batu menggunakan Aksara Jawa Kawi Akhir. Isi prasasti di salah satu sisinya menggunakan Bahasa Sansekerta yang dibuat tahun 1037 masehi. Sedangkan isi prasasti berbahasa Jawa Kuno dibuat tahun 1041 masehi.
Vernika menilai Prasasti Pucangan Sansekerta dan Jawa Kuno saling melengkapi satu sama lain. Isinya mulai dari silsilah keluarga Airlangga, Airlangga naik tahta tahun 941 saka atau 1019 masehi, sampai pendiri Kerajaan Kahuripan itu menumpas musuh-musuhnya tahun 959 saka atau 1037 masehi sehingga ia bisa berkuasa dengan damai.
“Hal tersebut membuat prasasti Pucangan menjadi salah satu prasasti terpenting, ibarat ringkasan sejarah kehidupan Airlangga yang panjang,” simpulnya.
Peneliti Pusat Riset Prasejarah dan Sejarah, Organisasi Riset Arkeologi, Sastra, dan Bahasa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Titi Surti Nastiti menambahkan penetapan daerah Pucangan, Barahem dan Bapuri sebagai sima dilakukan Airlangga pada 6 November 1041. Penanggalan tersebut sesuai dengan isi Prasasti Pucangan Jawa Kuno.
Hal itu dilakukan untuk memenuhi janjinya ketika Pulau Jawa mengalamai pralaya sebagai akibat serangan Raja Wurawari yang menyerbu tahun 938 saka atau 1016 masehi dan mengakibatkan raja yang memerintah sebelumnya berikut beberapa pejabat tinggi lainnya tewas.