BerandaSejarahSejarah Kiai Nawawi Mojokerto sebagai Ulama dan Pejuang yang Syahid di Medan...

Sejarah Kiai Nawawi Mojokerto sebagai Ulama dan Pejuang yang Syahid di Medan Perang

Mojokerto – KH Mochammad Nawawi memiliki kualitas sebagai ulama dan pejuang asal Mojokerto, sempat beberapa kali bertempur melawan penjajah yang hendak melakukan kolonialisme di RI.

Tidak diragukan lagi kualitas Kiai Nawawi sebagai ulama yang merupakan lulusan beberapa ponpes, dan mengamalkan ilmunya di tengah aktivitasnya sebagai kepala keluarga dan pejuang kala itu.

Bukan hanya itu, Kiai Nawawi juga terus dikenang karena menjadi syuhada kala membela kemerdekaan RI. Ini menjadi bukti jika Kiai Nawawi merupakan pejuang garis depan yang gigih membela RI.

Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menjelaskan Kiai Nawai lahir di keluarga sederhana di Dusun Lespadangan Desa Terusan Gedeg Kabupaten Mojokerto.

Ayahnya, Munadi tukang kayu sekaligus bangunan yang terkenal terampil dan jujur. Sedangkan sang ibu, Khalimah ibu rumah tangga biasa. Orang tua KH Nawawi berasal dari Pati, Jateng. Mereka diperkirakan hijrah ke Bumi Majapahit sekitar tahun 1895. Ia diyakini keturunan Kiai Ahmad Mutamakkin yang makamnya di Kajen Pati.

Kiai Nawawi memiliki perjalanan panjang dalam menimba ilmu di beberapa pesantren, tercatat lebih dari 20 tahun ia menekuni belajar beragam ilmu sebelum ia kembali dan memulai perjuangan melawan penjajah.

“Kiai Nawawi lahir tahun 1886. Pak Munadi hanya ingin anaknya berbakti kepada orang tua dan agamanya, bisa berguna bagi orang lain dengan mengajarkan ilmu agama,” tulis Ayuhanafiq dalam bukunya.

Pendidikan ilmu tauhid dan akhlak diterima Kiai Nawawi sejak usia dini. Ibunya, Khalimah mengajari putranya mengaji, sedangkan ayahnya Munadi menempanya dengan ilmu ketuhanan dan budaya malu.

Pesantren menjadi tempat Nawawi menimba ilmu sejak usianya baru 7 tahun. Munadi menitipkannya ke pesantren yang diasuh Kiai Ilyas alias Kiai Sholeh di Penarip gang 2 Kelurahan/Kecamatan Kranggan Kota Mojokerto sekitar tahun 1893.

Setelah dirasa cukup dan usianya sudah belasan tahun, Nawawi diarahkan Kiai Ilyas melanjutkan pendidikan di Ponpes Tebuireng Desa Cukir Diwek Jombang. Kala itu, Tebuireng masih diasuh teman Kiai Ilyas, KH Hasyim Asy’ari yang merupakan kakek Gus Dur.

Nawawi kian tekun menimba ilmu di Tebuireng. Ia memilih tetap belajar di pesantren ketika teman-temannya pulang selama libur Ramadhan. Oleh sebab itu, ia tak pernah absen mengikuti diskusi Ramadhan di pesantren yang peserta para santri senior pilihan.

“Forum diskusi semacam itu mengasah kemampuannya berbicara menyampaikan pendapat di hadapan orang lain, berlogika meyakinkan orang lain. Proses belajarnya di Tebuireng ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dia diperkenankan untuk melanjutkan belajar para kiai di pesantren lain,” terang Ayuhanafiq.

Selama berkelana menimba ilmu, lanjut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi belajar di 3 pesantren ternama di Jatim dan Madura. Pertama, di Pesantren Siwalan Panji Buduran, Sidoarjo. Pesantren yang didirikan Kiai Hamdani tahun 1787 ini juga tempat belajar guru Nawawi, Kiai Hasyim dan Kiai Ilyas. Ketika Nawawi ‘nyantri’, pesantren ini diasuh Kiai Khozin Khoirudin dan Kiai Hasyim Abdurrahim.

Selanjutnya Nawawi berguru ke Kiai Zainuddin di Pesantren Mojosari Desa Ngepeh Loceret Nganjuk. Kiai Zainuddin merupakan waliullah yang mempunyai banyak karamah. Ponpes Mojosari didirikan Kiai Ali Imron tahun 1710. Nawawi lantas merantau ke Madura untuk menimba ilmu dari Syaikhona Kholil di Kademangan, Bangkalan.

Di pesantren ini, Nawawi ingin mendalami ilmu nahwu dan shorof atau ilmu tata bahasa agar bisa membaca dan mengartikan semua kitab berbahasa Arab sekaligus mengerti maknanya. Konon ia hanya sebentar diajari ilmu tersebut. Sebab ia lebih banyak disuruh Kiai Kholil mengisi air kamar mandi dan tempat wudu.

“Sampai Nawawi dipanggil Kiai Kholil yang menyatakan sudah cukup dan menyuruhnya pulang. Perintah sudah cukup itu juga diartikan sebagai perintah untuk mengakhiri pengembaraannya. Nawawi harus balik ke rumahnya di Lespadangan. Sekurangnya 20 tahun waktu yang dia habiskan menimba ilmu agama,” jelasnya.

Kiai Nawawi juga terus mengamalkan ilmunya di tengah profesinya sebagai penjahit. Kiai Nawawi dikenal sebagai penjahit yang detail dan rapi, serta menyelesaikan garapan tepat waktu. Sehingga bisnisnya berkembang cepat. Tak ayal Nawawi mampu membeli tanah di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto.

Di tempat inilah ia membangun rumah sekaligus musala. Di sela kesibukannya menjadi penjahit, ia tetap meluangkan waktu mengajar mengaji masyarakat di sekitarnya. Kini tempat tinggal KH Nawawi menjadi Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur’an An Nawawy yang didirikan putranya, Kiai Ismail Nawawi. Sedangkan musala sudah dijadikan satu dengan masjid pesantren, Masjid As Syuhada’.

“Agar semua orang bisa berbahagia saat Lebaran Idul Fitri, Kiai Nawawi sering membebaskan ongkos jahit jika yang datang orang tidak mampu,” ujar Ayuhanafiq.

Selain di bidang pendidikan, KH Mochammad Nawawi juga berjuang layaknya aktivis di masa kolonial Belanda hingga Jepang. Ulama pemberani itu terlibat langsung pendirian NU, PETA dan Djawa Hokokai di Mojokerto. Bahkan, ia mampu membawa NU terus mengembangkan sayapnya meski diawasi ketat tentara penjajah.

Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan, sejak berdiri 1926, NU di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari membuka cabang di berbagai daerah memanfaatkan jaringan pesantren dan kaum santri lulusan pesantren. Tak terkecuali di Mojokerto. Kiai Nawawi yang notabene santri KH Hasyim di Ponpes Tebuireng, Jombang menunaikan tugas mulia tersebut.

Kala itu, Kiai Nawawi mendiskusikan rencana pendirian NU di Mojokerto dengan para kiai. Salah satunya yang paling intensif dengan Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab warga Suronatan Magersari Kota Mojokerto. Rupanya Kiai Zainal mempunyai minat yang sama.

NU Mojokerto akhirnya lahir dalam sebuah rapat para kiai pada 28 Mei 1929. Seperti yang dimuat dalam Buletin Swara Nahdlatoel Oelama edisi nomor 7 tahun kedua, rapat tersebut dihadiri KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri. Kiai Wahab kala itu menjadi Pemred Swara Nahdlatoel Oelama, sedangkan Kiai Bisri Katib Syuriyah NU Cabang Jombang.

“Kiai Wahab dan Kiai Bisri menjelaskan tentang pentingnya ikatan di antara umat Islam untuk menjaga syiar li i’laa kalimatillah dalam menghadapi tantangan gerusan puritanisasi beragama (Wahabi) maupun kristenisasi oleh penjajah. Yaitu bergabung dan membentuk NU cabang Mojokerto,” terang Ayuhanafiq dalam bukunya.

KH Nawawi wafat di usia 60 tahun. Ia dikenang selamanya sebagai syuhada dan ulama pemberani di masanya. Sebab ia gugur dalam sebuah pertempuran sengit dengan serdadu Belanda di Dusun Sumantoro Desa Plumbungan Sukodono Sidoarjo, 22 Agustus 1946. Ketika itu ia menjabat Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. Jenazahnya dimakamkan Makam Lingkungan Mangunrejo di Dusun Simpang Baru Desa Sidoharjo Gedeg.

Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menjelaskan selain berprofesi sebagai penjahit busana, kakeknya juga pedagang tembakau. “Beliau seorang penjahit baju dan pedagang tembakau di pasar, jualannya pindah-pindah pasar sesuai hari pasaran dalam kalender Jawa,” jelasnya.

Di mata Qodri, Kiai Nawawi merupakan ulama pemberani. Menurutnya Kiai Nawawi gugur ketika memimpin pertemuan melawan penjajah Belanda di Sukodono, Sidoarjo. Kala itu, Nawawi menjabat Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. Jabatan tersebut tercantum di Surat Keputusan Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Jatim nomor 01/DHD-45/MR/VIII/1995 tanggal 16 Agustus 1995 tentang menganugerahi Kiai Nawai pemancangan bambu runcing di pusaranya karena jasa dan kesetiaan kepada organisasi, bangsa dan negara.

“Beliau gugur ketika memimpin perang sebagai Komandan Sabilillah wilayah Mojokerto dan Sidoarjo, beliau gugur di Sukodono. Tidak ada pangkat kemiliteran waktu itu,” tegasnya.

Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menyampaikan KH Nawawi mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch inlansche School Partikelir (HIS-P). Ketika itu usia Nawawi baru sekitar 7 tahun. Nawawi kecil lantas menimba ilmu di Ponpes Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy’ari setelah lulus dari HIS-P.

“Di usia anak-anak, Nawawi mendapat pendidikan ilmu tauhid dari ayahnya sendiri. Begitu memasuki usia sekitar tujuh tahunan, Nawawi dimasukkan sekolah HIS-P,” tandas Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kabar Popular