BerandaSejarahSosok KH Mochammad Nawawi Mojokerto, Figur Ulama dan Pejuang Kemerdekaan RI

Sosok KH Mochammad Nawawi Mojokerto, Figur Ulama dan Pejuang Kemerdekaan RI

Mojokerto – Sosok KH Mochammad Nawawi dikenal sebagai salah satu ulama pejuang kemerdekaan asal Kabupaten Mojokerto. Kiai Nawawi menjadi salah satu figur mengenai nasionalisme membela bangsa dan tanah air.

Kiai Nawawi lahir pada tahun 1886, ia berasal dari keluarga sederhana di Dusun Lespadangan Desa Terusan Gedeg Kabupaten Mojokerto. Ayahnya, Munadi adalah tukang kayu sekaligus bangunan yang terkenal terampil dan jujur. Sedangkan sang ibu, Khalimah ibu rumah tangga biasa.

Sosok Kiai Nawawi dikenal sebagai pejuang pemberani yang selalu di garis depan pertempuran. Ia rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menjelaskan Kiai Nawawi diyakini keturunan Kiai Ahmad Mutamakkin yang makamnya di Kajen, Pati. Kiai Mutamakkin merupakan ulama besar pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV dari Kerajaan Mataram Islam.

Keyakinan tersebut karena alasan orang tua KH Nawawi berasal dari Pati, Jateng. Mereka diperkirakan hijrah ke Bumi Majapahit sekitar tahun 1895.

“Kiai Nawawi lahir tahun 1886. Pak Munadi hanya ingin anaknya berbakti kepada orang tua dan agamanya, bisa berguna bagi orang lain dengan mengajarkan ilmu agama,” tulis Ayuhanafiq dalam bukunya.

Pendidikan dasar Kiai Nawawi dimulai dari keluarganya, ia menerima endidikan ilmu tauhid dan akhlak. Ibunya, Khalimah mengajari putranya mengaji, Munadi menempanya dengan ilmu ketuhanan dan budaya malu.

Pendidikan dalam keluarga yang diajarkan orang tunya adalah Nawawi kecil sudah diajari malu untuk gagal, malu melanggar aturan dan etika di masyarakat, serta malu bersikap sombong sehingga selalu rendah hati.

Munadi kemudian menitipkannya Kiai Nawawi ketika berusia 7 tahun di pesantren yang diasuh Kiai Ilyas alias Kiai Sholeh di Penarip gang 2 Kelurahan/Kecamatan Kranggan Kota Mojokerto sekitar tahun 1893.

Di pesantren ini, Nawawi mempelajari Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik, mendapatkan doktrin melawan penjajah, bekal ilmu bela diri aliran Cirebonan, Jabar dari Kiai Ilyas.

Pesantren kedua Kiai Nawawi adalah Tebuireng atas arahan gurunya yaitu Kiai Ilyas untuk melanjutkan pendidikan di Ponpes Tebuireng Desa Cukir Diwek Jombang.

Kala itu, Kiai Nawawi berusia belasan tahun dan Tebuireng masih diasuh teman Kiai Ilyas yaitu KH Hasyim Asy’ari yang merupakan kakek Gus Dur. Munadi pun menemui langsung Kiai Hasyim untuk menitipkan putranya tersebut.

Nawawi remaja kian tekun menimba ilmu di Tebuireng. Ia memilih tetap belajar di pesantren ketika teman-temannya pulang selama libur Ramadhan. Oleh sebab itu, ia tak pernah absen mengikuti diskusi Ramadan di pesantren yang pesertanya para santri senior pilihan.

“Forum diskusi semacam itu mengasah kemampuannya berbicara menyampaikan pendapat di hadapan orang lain, berlogika meyakinkan orang lain. Proses belajarnya di Tebuireng ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dia diperkenankan untuk melanjutkan belajar bersama para kiai di pesantren lain,” terang Ayuhanafiq.

Selama berkelana menimba ilmu, Kiai Nawawi kemudian belajar di 3 pesantren ternama di Jatim dan Madura.

Pertama, di Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo. Pesantren yang didirikan Kiai Hamdani tahun 1787 ini juga tempat belajar guru Nawawi, Kiai Hasyim dan Kiai Ilyas. Ketika Nawawi ‘nyantri’, pesantren ini diasuh Kiai Khozin Khoirudin dan Kiai Hasyim Abdurrahim.

Kedua, Nawawi berguru ke Kiai Zainuddin di Pesantren Mojosari Desa Ngepeh Loceret Nganjuk. Kiai Zainuddin merupakan waliullah yang mempunyai banyak karamah. Ponpes Mojosari didirikan Kiai Ali Imron tahun 1710.

Ketiga, Nawawi lantas merantau ke Madura untuk menimba ilmu dari Syaikhona Kholil di Kademangan Bangkalan. Di pesantren ini, Nawawi ingin mendalami ilmu nahwu dan shorof atau ilmu tata bahasa agar bisa membaca dan mengartikan semua kitab berbahasa Arab sekaligus mengerti maknanya.

Cerita unik ketika Kiai Nawawi di Bangkalan, konon ia hanya sebentar diajari ilmu tersebut. Sebab ia lebih banyak disuruh Kiai Kholil mengisi air kamar mandi dan tempat wudu. Hingga akhirnya ia disuruh kembali ke rumahnya.

“Sampai Nawawi dipanggil Kiai Kholil yang menyatakan sudah cukup dan menyuruhnya pulang. Perintah sudah cukup itu juga diartikan sebagai perintah untuk mengakhiri pengembaraannya. Nawawi harus balik ke rumahnya di Lespadangan. Sekurangnya 20 tahun waktu yang dia habiskan menimba ilmu agama,” jelasnya.

Usai mengembara selama 20 tahun untuk menimba ilmu agama selanjutnya, Kiai Nawawi dijodohkan dengan putri dari teman akrab ayahnya, seorang guru mengaji atau kiai kampung bernama Syafi’i warga Balongsari I Kelurahan Balongsari Magersari Kota Mojokerto.

Kiai Nawawi kemudian dijodohkan dengan Nafisah. Kala itu, Syafi’i yang memginisiasi perjodohan, lantas Munadi menyetujui niat mulia tersebut sebab ia sudah memahami akhlak Nafisah.

Nawawi dan Nafisah akhirnya menikah di tahun 1914. Kala itu, usia Nawawi sudah 28 tahun. Pasangan pengantin baru ini tinggal serumah dengan Kiai Syafi’i. Buah pernikahan ini, mereka dikaruniai 9 anak, yaitu Siti Amnah, Mardiyah, Ismail, Mansur, Marzuki, Yahya, Ubaidah, Wasiah, dan Badriyah. Nafisah wafat setelah 20 tahun menjadi istri KH Nawawi.

“Kiai Nawawi menyunting istri keduanya, Nyai Bannah dari Pesantren Gayam dan dikaruniai 5 putra-putri, yaitu, Muhaimin, Ahmad Chumaidi, Malikhatin, Mohammad Sonhadji, serta Anik Ukhuwah,” ungkapnya.

Sejak menjadi kepala keluarga, Nawawi bergaul dengan semua kalangan. Pekerjaan pun ia peroleh buah pergaulannya itu, yaitu menjadi tukang jahit busana. Kala itu, penjahit hanya ada 2 di Kota Mojokerto.

Nawawi belajar menjahit dari salah satunya. Ia lantas membuka kios jasa jahit busana di Jalan Kediri yang sekarang menjadi Jalan Majapahit.

Profesi ini ia tekuni dengan maksimal. Kiai Nawawi dikenal sebagai penjahit yang detail dan rapi, serta menyelesaikan garapan tepat waktu. Sehingga bisnisnya berkembang cepat. Hingga hasil pekerjaannya Nawawi mampu membeli tanah di Jalan Gajah Mada nomor 118 Kelurahan Jagalan Kranggan Kota Mojokerto.

Di tempat inilah ia membangun rumah sekaligus musala. Di sela kesibukannya menjadi penjahit, ia tetap meluangkan waktu mengajar mengaji masyarakat di sekitarnya.

Kini tempat tinggal KH Nawawi menjadi Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur’an An Nawawy yang didirikan putranya, Kiai Ismail Nawawi. Sedangkan musala sudah dijadikan satu dengan masjid pesantren, Masjid As Syuhada’.

“Agar semua orang bisa berbahagia saat Lebaran Idul Fitri, Kiai Nawawi sering membebaskan ongkos jahit jika yang datang orang tidak mampu,” ujar Ayuhanafiq.

Nawawi dikenal sebagai pejuang kemerdekaan karena menjadi sebagai syuhada dan ulama pemberani di masanya. Sebab ia gugur dalam sebuah pertempuran sengit dengan serdadu Belanda di Dusun Sumantoro Desa Plumbungan Sukodono Sidoarjo, 22 Agustus 1946.

Makam KH Mochammad Nawawi.

 

Ketika itu ia menjabat Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. KH Nawawi wafat di usia 60 tahun. Ia dikenang selamanya sebagai syuhada dan ulama pemberani di masanya.

Jenazahnya dimakamkan Makam Lingkungan Mangunrejo di Dusun Simpang Baru Desa Sidoharjo Gedeg.

Cucu Kiai Syafi’i, Muhammad Zaini (76) mengatakan musala tempat KH Nawawi membantu mertuanya mengajar mengaji masih eksis di Balongsari I nomor 15. Rumah induk Kiai Syafi’i persis di belakang musala KH Syafi’i tersebut.

“Rumah induk sekarang ditempati cicit dari Kiai Syafi’i. Musala sekarang direhab karena rusak atapnya,” cetusnya.

Informasi tentang KH Nawawi keturunan Kiai Ahmad Mutamakkin, ulama kondang di Pati, rupanya pernah didengar langsung oleh cucu KH Nawawi yang lain, Ahmad Wahid (63), dari orang tuanya. Wahid adalah cucu Kiai Nawawi Kiai Ismail Nawawi dan Siti Maisaroh.

“Cerita abah ke ibu saya, Kiai Nawawi keturunan Kiai Mutamakkin di Kajen Pati. Namun, beliau tidak pernah cerita karena tidak mau anak turunnya sombong. Kiai Mutamakkin seorang ulama besar,” terangnya.

Wahid mempunyai versi lain ihwal tempat tinggal KH Nawawi. Menurutnya rumah kakeknya di Lingkungan Jagalan 2 Kelurahan Jagalan. Rumah berbahan kayu jati itu terletak di sebelah selatan Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur’an An Nawawy.

Namun, kemudian rumah itu sudah dijual kepada orang lain. Sedangkan musala Kiai Nawawi kini menjadi satu bangunan dengan masjid pesantren tersebut.

“Lahan pondok itu dulu musala, di sekitanya banyak pohon mangga dan bambu. Mbah Nawawi dulu kaya, banyak tanahnya. Beliau dulu mengajar mengaji di musala itu,” tuturnya.

Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menjelaskan selain berprofesi sebagai penjahit busana, kakeknya juga pedagang tembakau.

“Beliau seorang penjahit baju dan pedagang tembakau di pasar, jualannya pindah-pindah pasar sesuai hari pasaran dalam kalender Jawa,” jelasnya.

Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menyampaikan KH Nawawi mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch inlansche School Partikelir (HIS-P). Ketika itu usia Nawawi baru sekitar 7 tahun. Nawawi kecil lantas menimba ilmu di Ponpes Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy’ari setelah lulus dari HIS-P.

“Di usia anak-anak, Nawawi mendapat pendidikan ilmu tauhid dari ayahnya sendiri. Begitu memasuki usia sekitar tujuh tahunan, Nawawi dimasukkan sekolah HIS-P,” tandas Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kabar Popular