Sooko – Masyarakat masih menjaga dan melestarikan tradisi di Kolam Bekucuk, sebagai bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang merupakan tokoh yang babat alas tanah Desa Tempuran.
Masyarakat masih mempertahankan tradisi sebagai dan berprinsip menjaga tradisi di Kolam Bekucuk, Desa Tempuran Sooko Kabupaten Mojokerto, karena alasan utamanya yaitu tempat itu merupakan petilasan sosok yang berjasa dalam pekaran wilayah Desa Tempuran.
Konon, masyarakat percaya keberadaan Kolam Bekucuk berhubungan dengan Eyang Surono alias Mbah Jenggot yang merupakan tokoh pertama yang membabat alas.
Kolam kuno nan unik itu dipercaya sebagian warga setempat sebagai petilasan Eyang Surono alias Mbah Jenggot.
Tradisi yang rutin digelar adalah ruwah dusun, selain sebagian masyarakatnya menjadikan tempat untuk dikunjungi peziarah.
Kepala Desa Tempuran, Slamet mengatakan Kolam Bekucuk menjadi punden atau tempat yang dikeramatkan warga Dusun Bekucuk.
Terdapat pendapa kecil untuk peziarah di sudut tenggara pagar kolam. Pendapa tersebut juga sering disinggahi masyarakat setempat.

Namun, pendapat kecil tersebut bukanlah makam pionir Dusun Bekucuk yang dijuluki Mbah Jenggot.
“Itu bukan makam, hanya petilasan. Semua punden di desa ini dimanfaatkan masyarakat dusun masing-masing. Di setiap punden selalu ada kegiatan ruwah dusun,” kata Slamet kepada Kabarmojokerto.id, Kamis (11/5/2023) kemarin.
Namun, ada pula warga Dusun Bekucuk yang meyakini keberadaan makam Eyang Surono di area Kolam Bekucuk.
Seperti yang dikatakan Suwono (57), merupakan warga yang rumahnya paling dekat dengan kolam karena hanya dipisahkan jalan cor beton penghubung Mojokerto dengan Jombang.
Menurutnya, sosok kakek-kakek berjuluk Mbah Jenggot itu sebagai pionir Dusun Bekucuk. Eyang Surono merupakan bawahan Brawijaya Raja Majapahit sekaligus sahabat karib Syekh Jumadil Kubro yang makamnya di Trowulan Mojokerto.

Oleh sebab itu, Kolam Bekucuk menjadi tempat ritual sedekah dusun yang rutin digelar setiap Bulan Ruwah malam Jumat Legi.
Ruwah Dusun dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit, kuda lumping, kirab budaya, istigasah dan pengajian.
“Ruwah dusun sudah menjadi tradisi. Bukan musrik, kalau mempertahankan tradisi itu, masyarakat mudah mencari rezeki. Pantangannya tidak menyelingkuhi istri orang dan tidak sombong. Kalau melakukan itu pasti tidak awet di sini, tahu-tahu mati,” jelasnya.
Suroso (72) salah satu sesepuh Desa Bekucup menuturkan sejumlah tradisi masih tetap digelar di Kolam Bekucuk.
Mulai dari tradisi ngelemi, yakni syukuran saat musim tanam tiba. Biasanya tradisi ngelemi dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit dan ludruk.
Sedekah dusun atau ruwah dusun, lanjut Suroso juga masih rutin digelar di Kolam Bekucuk setiap malam Jumat Legi di Bulan Ruwah.
Tradisi selametan yang digelar warga setempat sebelum menyelenggarakan hajatan pernikahan atau khitanan.
“Tujuannya keselamatan untuk masyarakat, juga agar tujuannya masing-masing tercapai. Sebagian pengunjung ada ritual untuk tujuan khusus, tapi tidak seperti di tempat lain, paling hanya 1-2 orang. Bisanya menaruh sesaji kembang wangi,” pungkasnya.