Mojokerto – KH Mochammad Nawawi sebagai salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan RI di Kabupaten Mojokerto patut diteladani generasi sekarang. Ia memiliki andil besar dalam perjuangan dan dalam mempertahankan kedaulatan RI.
Ia dikenang sebagai syuhada setelah gugur di tangan tentara Belanda saat berusia 60 tahun. Sebagai komandan ia juga menjadi contoh bagi para prajuritnya dalam melawan para penjajah.
Beberapa versi menyebutkan bahwa wafatnya Kiai Nawawi tidak terlepas dari unsur penghianatan yang dilakukan mata-mata pribumi. Karena Kiai Nawawi dikenal sakti dan kebal peluru.
Kiai Nawawi menjadi syuhada usai wafat dalam pertempuran 3 hari di Surabaya pecah 27 Oktober 1945 pasca militer Inggris mengeluarkan ultimatum sehari sebelumnya.
Pasukan Sekutu bersikeras mengambil alih pemerintah Republik Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain itu, mereka meminta para pejuang menyerahkan senjata jika tak ingin ditembak mati.
Keadaan yang kacau di Kota Pahlawan akibat pertempuran itu, memaksa Wali Kota Surabaya Radjamin Nasution menggalang bantuan termasuk dari Mojokerto. Ia meminta para kiai ikut maju ke garis depan pertempuran setidaknya untuk melecut semangat juang para pemuda. Tanpa ragu, Kiai Nawawi dan ulama lainnya memutuskan ikut bertempur di front paling depan. Padahal, kala itu usianya sudah 59 tahun.
Perjuangan Kiai Nawawi terhenti pada 22 Agustus 1946. Ia wafat di tangan serdadu Belanda di Dusun Sumantoro Desa Plumbungan Sukodono Sidoarjo.
“Beliau langsung menuju front Kletek, Sidoarjo. Tatkala terjadi pertempuran sengit di Dukuh Sumantoro, belasan tentara Belanda membentuk tapal kuda, mengepung KH Nawawi dan pasukannya. Begitu tentara Belanda berhasil mendekati KH Nawawi, mereka langsung menghujamkan pisau bayonet hingga berujung ke syuhadanya KH Nawawi,” terang Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto.
Ketua PC Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini menjelaskan pasukan Hizbullah dan Sabilillah mengevakuasi jenazah Kiai Nawawi ke Stasiun Krian Sidoarjo. Selanjutnya jenazah syuhada itu dinaikkan kereta api menuju Stasiun Mojokerto.
Ulama pemberani itu dimakamkan di Makam Lingkungan Mangunrejo di Dusun Simpang Baru Desa Sidoharjo Gedeg Kabupaten Mojokerto.
“Untuk menghormati dan mengenang darmabaktinya, Pemkot Mojokerto mengabadikan perjuangan KH Nawawi menjadi nama sebuah jalan. Jalan ini menghubungkan Jalan Residen Pamudji dengan Jalan Bhayangkara pada 30 Maret 1967,” jelas Isno.
Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menuturkan kakeknya itu menggunakan karamahnya untuk berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Putra pasangan Munadi dan Khalimah itu terkenal kebal peluru. Selain itu, Kiai Nawawi juga membekali para santrinya yang ikut berperang dengan kerikil yang bisa meledak ketika dilempar layaknya granat.
Wafatnya Kiai Nawawi diketahui karena ada sebuah penghianatan. Penghianatan yang menurutnya membuat ulama pemberani itu bisa terbunuh.
“Ketika itu katanya menurut cerita ada teman seperjuangannya yang tahu kelemahan Mbah Nawawi, berhianat menyampaikan kelemahan Kiai Nawawi ke Belanda,” cetusnya.
Di usianya yang sudah 60 tahun, Kiai Nawawi menjadi Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto, yaitu barisan pejuang dari unsur kiai. Dalam pertempuran di Dusun Sumantoro, ia berhasil dikepung serdadu Belanda hingga terbunuh.
Menurut Qodri, penyebab wafatnya Kiai Nawawi masih simpang siur. Namun, Sang Kiai mampu membunuh ratusan tentara penjajah sebelum ajalnya tiba.
“Ada yang bilang Mbah Nawawi ditembak dengan peluru emas, ditembak telapak kakinya, versi lain ditusuk bayonet. Yang jelas menurut cerita warga setempat, beliau bisa membunuh sekitar 200 serdadu Belanda sebelum meninggal,” ungkapnya.
Sedangkan Ayuhanafiq dalam bukunya Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menjelaskan Kiai Nawawi merupakan tokoh yang paling dicari serdadu NICA atau Belanda.
Sebab setelah Maret 1946, militer Inggris sudah ditarik dari Indonesia. Bantuan persenjataan modern dari Amerika Serikat membuat militer penjajah mampu mendesak para pejuang ke Krian dan Sukodono, Sidoarjo sekitar Mei 1946. Kiai Nawawi pun terpaksa memilih bertahan di Sukodono.
Di usianya yang tergolong senja, Kiai Nawawi masih kuat berjalan kaki setiap hari dari kediamannya di Kota Mojokerto menuju Sukodono melalui Tarik. Karena setiap petang ia pulang untuk mengajar mengaji.
Kala itu, Laskar Hizbullah Mojokerto yang dipimpin Amir Efendi dan Hizbullah Sidoarjo yang dipimpin Sami’un Somadi mempertahankan Krian dan Sukodono. Sedangkan wilayah Buduran di bawah kendali Hizbullah Malang yang dipimpin Muchlas Rowi dan Saiful Islam.
Usai mengisi pengajian di Langgar Jagalan 22 Agustus 1946 pagi, Kiai Nawawi bertolak ke garis depan pertempuran di Sukodono dengan berjalan kaki. Ia dikawal satu regu berjumlah 7 orang dari Kompi IV Hizbullah Mojokerto. Yaitu Ahmad Syueb dari Bicak, Trowulan, Abdul Rokhim dari Banjarsari Jetis, Zainal Mahmud dari Miji, Kota Mojokerto, Kusnan Itek dari Brangkal, Sooko, Kusnan Tuwek dari Mojosari, Arbi dari Miji, Kota Mojokerto, serta Iskhaq dari Nglinguk, Trowulan.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Kiai Nawawi dan pengawalnya mendekati simpang 4 Sukodono. Ketika itu di lokasi, pertempuran sengit terjadi antara pasukan Amir dengan serdadu Belanda yang datang dari arah utara. Melihat kedatangan Kiai Nawawi, Laskar Hizbullah memberikan perlindungan dengan menggencarkan serangan ke musuh dari sisi selatan Jembatan Sukodono.
“Selanjutkan Amir berteriak meminta Kiai Nawawi berlindung dari tembakan dan bersiap untuk mundur. Jarak keduanya terpisah puluhan meter. Namun, dijawab Kiai Nawawi, ‘Jangan mundur….jangan mundur’,” terangnya.
Kondisi itu dimanfaatkan pasukan Belanda menjauhkan Kiai Nawawi dari Laskar Hizbullah Mojokerto. Mereka terus mendesak Amir dan pasukannya menjauh dari Kiai Nawawi.
Pasukan lainnya memberondong Kiai Nawawi dan pengawalnya di sebelah barat Jembatan Sukodono dengan tembakan. Kiai Nawawi tak menyerah dan mampu menangkis peluru musuh menggunakan payung dan serban.
Sedangkan pasukan pengawalnya yang juga terdesak harus mencari tempat berlindung. Sehingga mereka semakin menjauh dari Kiai Nawawi.
Kiai Nawawi sendiri meski tak terluka, ia kian terdesak oleh rentetan tembakan serdadu Belanda. Ia pun mundur ke kebun bambu di belakang rumah H Mustofa di Dusun Sumantoro.
Satu regu pasukan penjajah berhasil mengepungnya yang kala itu seorang diri. Pertarungan jarak dekat pun tak terhindarkan. Kiai Nawawi yang kala itu berusia 60 tahun akhirnya tumbang dikeroyok tentara musuh.
“Setidaknya empat tusukan bayonet yang membuat Kiai Nawawi menghembuskan napas terakhir. Salah satu tusukan bayonet mengenai lehernya,” jelas Ayuhanafiq.
Bantuan dari Lazkar Hizbullah daerah lain membuat pasukan Amir berhasil mengatasi musuh. Mereka lantas mendatangi lokasi Kiai Nawawi. Ternyata sejumlah serdadu Belanda berdiri mengelilingi jenazah Kiai Nawawi.
Para pejuang pun segera menghabisi tentara musuh untuk mengevakuasi Sang Syuhada ke tempat aman. Sehingga jasad ulama pemberani itu tak pernah ditemukan musuh yang berambisi membunuhnya. Menurut Ayuhanafiq, jenazah Kiai Nawawi berhasil dibawa ke Stasiun Tarik secara sembunyi-sembunyi.
“Selepas salat asar, rombongan tersebut bisa memindahkan jenazah Kiai Nawawi.dari keranda ke dalam kereta api. Tidak lama setelah kereta berangkat, pesawat terbang Belanda mendekat ke kereta. Pesawat disambut tembakan dari senapan mesin yang ada di gerbong belakang. Pesawat pun pergi,” ungkapnya.
Sampai di Stasiun Mojokerto, lanjut Ayuhanafiq jenazah Kiai Nawawi disambut ribuan orang. Jenazahnya langsung disemayamkan di Langgar Jagalan. Para pelayat yang datang untuk membaca tahlil sampai meluber ke Jalan Gajah Mada. Keesokan harinya, 23 Agustus 1946, jenazah syuhada itu dimakamkan di Makam Lingkungan Mangunrejo. Ya, sebab Kiai Nawawi bepersan agar tidak dikebumikan di taman makam pahlawan.
“Pemakaman berlangsung haru. Ribuan pelayat berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka menjadi saksi bahwa Kiai Nawawi adalah syuhada yang gugur membela negara. Besarnya perhatian rakyat Mojokerto saat pemakaman berlangsung menunjukkan betapa beliau sangat dihormati,” cetusnya.
Ayuhanafiq berpendapat gugurnya Kiai Nawawi tak lepas dari peran mata-mata pribumi yang kala itu disebut Londo Ireng. Sebab serdadu Belanda membunuh Kiai Nawawi dengan bayonet, bukanlah cara yang lazim mereka lakukan.
Selain itu, serangan pasukan kolonial ke Sukodono sengaja dilakukan untuk menghabisi Kiai Nawawi. Karena mereka lebih dulu menerima informasi rencana kedatangan ulama sakti tersebut.
“Ada peran mata-mata dalam peristiwa itu, ada orang yang menjadi spion yang memberi informasi bahwa Kiai Nawawi tidak mempan peluru. Karenanya harus dimatikan dengan cara jarak dekat,” tandasnya.